10.18.2019

Mereka Mahasiswa


Rengasdengklok, 16 Agustus 1945
Langit Karawang hari itu menjadi saksi berkibarnya Merah Putih di beberapa sudut Rengasdengklok. Angin semilir meniup dwiwarna yang suci bagi bangsa ini. Melambai-lambai seolah memekikkan pada setiap yang lewat, “Indonesia akan segera merdeka!”
Sejak hari sebelumnya, tonggak-tonggak bambu yang ujungnya terikat kain persegi empat berwarna merah putih dipancangkan di depan beberapa rumah. Para pejuang muda Rengasdengklok sudah tidak sabar, Indonesia harus merdeka sekarang juga!
Pagi buta, saat ayam jantan masih menyisakan kokok nyaringnya serombongan orang datang dari Jakarta. Di antara mereka, seorang pria setengah baya yang tampak berwibawa berjalan tegap di depan rombongan. Sesekali ia berbicara dengan pria berkacamata yang tak kalah wibawa di sampingnya. Mereka kemudian masuk sebuah rumah sederhana, milik seorang Tionghoa. Beberapa orang yang telah menunggu menyambut dengan pekikan, “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta, Indonesia sudah merdeka, Jepang sudah modar!”
Sebuah ruang tamu yang tidak seberapa luas menjadi saksi pertemuan golongan tua dan golongan muda itu. Mereka berunding, membicarakan sesuatu yang penting. Masa depan bangsa mereka yang berabad-abad menjadi bulan-bulanan penjajah.
“Anda harus segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera!” Seorang pemuda angkat bicara pada dua orang yang berwibawa itu.
“Segera?”
“Ya, segera! Hari ini, di sini! Kami sudah menyiapkan naskahnya,” tambah pemuda itu.
“Tidak! PPKI* sedang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan kami bertanggung jawab selaku pimpinannya.” Sergah orang yang baru datang dari Jakarta itu.
“Tidak bisa, PPKI adalah tipu muslihat Jepang, bangsa ini harus merdeka tanpa campur tangan penjajah...!” Pemuda itu makin tidak sabar. Suasana dalam ruangan itu makin memanas. Namun, dua orang “tetua” yang sedang dalam “penculikan” dan sedang “dituntut” oleh orang-orang muda itu bergeming dengan pendiriannya.
Para pemuda itu kemudian berunding menghadapi keteguhan sikap senior mereka. Beberapa di antara mereka menyusun perebutan kekuasaan tapi tidak semuanya mendukung rencana itu. Perjuangan mereka penuh liku-liku. Berat memang, memadukan keinginan-keinginan yang bersilangan.
Kabar berita dari rekan-rekan mereka di Jakarta tiada kunjung datang. Seorang pria muda dari kumpulan itu bergegas menuju Jakarta, hendak berunding dengan kawan-kawan seperjuangan mereka di sana.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Jarum jam membentuk kurva bersudut 120 derajat, menunjukkan pukul 08.00. Pria berwibawa yang biasanya tampak tegap itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Ia menggigil, meriang.
Pating greges...*,” katanya pada dokter yang merawatnya.
Malaria tertiana menyerang pria berwibawa itu. Semalaman ia begadang dengan kawan-kawannya untuk merumuskan “masa depan” tanah air mereka di rumah itu. Rumah seorang laksamana Jepang yang simpati.
Sebuah suntikan chinineurethan intramuculair dan pil brom chinine dari dokter membuatnya merasa lebih baik. Pukul 09.00 ia bangkit dari tempat tidur, wibawanya telah kembali. Dikenakannya pakaian putih-putih yang semakin menampakkan kegagahannya.
Jum’at pagi itu, halaman rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 Cikini itu terlihat sibuk. Beberapa orang tampak menegakkan sebuah tiang bambu, tepat di depan rumah. Beberapa lagi menyiapkan mikrofon. Mereka menyiapkan sebuah hajat besar dengan peralatan dan upacara sederhana, kemerdekaan Indonesia.
Pria berpakaian putih-putih itu berjalan tegap keluar menuju halaman. Rekannya yang berkacamata mendampinginya. Orang-orang yang hadir di rumah itu segera bersiap.
Pukul 10.00 pria berpakaian putih-putih itu membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Siaran radio menyiarkan langsung ke seluruh pelosok negeri. Di ujung kesederhanaan sebatang bambu, Merah Putih berkibar gagah di langit nusantara, Jum’at pagi itu. Pria-pria muda yang hadir menyaksikan peristiwa itu berpandangan, lalu tersenyum. Mereka menarik nafas lega, Indonesia sudah merdeka!

Alexandria, medio Juli 1945
Pantai di Laut Tengah pada malam itu masih mendeburkan ombak pada karangnya, seperti biasa. Semilir angin laut mengalunkan rhapsody kehidupan, seolah menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kerlip lampu perahu nelayan melengkapi orkestra alam.
            Sebuah jam kayu di dinding ruangan menunjuk 22.00, saat itu. Empat puluh kelasi kapal berwajah melayu berkumpul, membincangkan sesuatu. Perkumpulan itu dipimpin beberapa mahasiswa yang berwajah melayu juga. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia.
            Suasana malam di ruangan itu terasa emosional. Para mahasiswa yang sedang menimba ilmu di negeri Musa itu berpesan agar para kelasi itu mulai menabung. Jika setiap saat jihad kemerdekaan dikumandangkan, sebaiknya mereka meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidak menodai perjuangan.
            Para kelasi yang sehari-hari berada di lautan samudra itu menyanggupi, “Jika fatwa sudah turun, kami akan memenuhi.”
            Sumpah para kelasi itu tidak main-main. Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, dua orang kelasi Indonesia berjalan kaki dari Tunisia menuju Kairo. Mereka ingin bergabung dengan mahasiswa dari tanah airnya yang banyak bermukim di Mesir, untuk melanjutkan perjuangan.
            “Kami menerima fatwa yang dibawa teman-teman kami dari Indonesia, tentang haramnya bekerja di kapal penjajah,” jawab kedua kelasi itu ketika ditanya kawan-kawannya di Mesir tentang perjalanan jauh yang mereka tempuh.

Kairo, suatu masa di 1946
            Sekelompok mahasiswa Indonesia itu melakukan demonstrasi. Beberapa pemuda berwajah Arab mendampingi rekan-rekan mereka di kampus Al-Azhar. Mereka melakukan long march ke beberapa sudut Kairo. Meneriakkan kemerdekaan bagi negerinya. Kemerdekaan yang seharusnya tidak perlu lagi diteriakkan dan sudah menjadi hak semua bangsa di muka bumi. Kemerdekaan tanpa penindasan.
            Di beberapa gedung, bendera-bendera negara sekutu diturunkan. Menyamarkan agar tidak menjadi sasaran demonstrasi. Di depan kedutaan Hindia Belanda, pelajar-pelajar perantauan itu secara heroik mencampakkan paspor-paspor Hindia Belanda milik mereka.
            Tak lama setelah itu, sebuah sesi persidangan Liga Arab di kota ini berlangsung haru. Beberapa mahasiswa Indonesia mendengarkan dengan seksama ketika sebuah resolusi tentang negeri mereka dibacakan. Akhirnya mereka lega, upaya diplomasi mereka dalam forum itu membuahkan hasil. Mereka menjadi saksi dukungan asing untuk kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya.

Kairo, Agustus 2007
            Abdi berjalan dengan gontai meninggalkan lorong koridor Fakultas Ushuluddin. Pengumuman hasil ujian membuatnya bermuram durja. Ia harus mengulang lagi satu tahun di Tingkat Pertama ini. Al-Azhar tidak semudah yang dibayangkannya. Dengan lesu ia melangkahkan kaki meninggalkan gerbang universitas tua itu.
            Saat memasuki rumah, Hasan menyambutnya dengan wajah muram. Ia segera menegrti nasib sahabatnya itu sama dengannya. Harus mengulang satu tahun lagi. Tanpa banyak berkata-kata Abdi duduk di samping Hasan yang sedang terpekur.
            “Kita harus berbuat sesuatu!” Hasan memecah kesunyian.
            “Ya, sebenarnya aku sadar bahwa aku terlalu aktif di organisasi, bergerak ke sana dan kemari sampai akhirnya sulit membagi waktu untuk belajar, tak tega aku menolak ajakan senior,” Abdi mulai curhat tanpa diminta.
            “Aku pun begitu, terlalu sering berdiskusi dan terlalu asyik dengan geng-ku sehingga pelajaran di kuliah kurang ku perhatikan,” tutur Hasan.
            Mereka lalu terdiam.
            Abdi menarik nafas lalu berujar,“Sebenarnya apa yang kita lakukan tidak salah, namun seringkali kita kelewatan.....terutama soal waktu.”
“Menurutmu apa yang harus kita lakukan?” tanya Hasan.
“Tampaknya kalo bersama-sama kita akan lebih kuat menghadapi semua ini!”
“Ya, aku setuju. Kamu boleh tetap aktif di organisasimu dan aku juga tidak akan berhenti dengan diskusi-diskusi di kelompokku. Hanya saja kita harus merancang sesuatu agar kita bisa tetap bertahan pada koridor tujuan awal kita.”
Hasan dan Abdi meneruskan ide-ide yang ada dalam otak mereka. Mereka berdua sepakat akan berkampanya melawan rasib* di kalangan mahasiswa Indonesia. Hasan menghubungi kawan-kawan diskusinya, mengajak mereka memecahkan masalah perkuliahan bersama-sama. Abdi melakukan hal yang sama pada kawan-kawan organisasinya. Beberapa kali, para mahasiswa bebeda latar belakang ini berkumpul untuk merancang program demi Kampanye Anti-Rasib.
Hari demi hari, kampanye yang dimotori Hasan, Abdi dan kelompok mereka masing-masing semakin gencar. Orang-orang muda ini berusaha menciptakan suasana dan lingkungan berorientasi pada perkuliahan tanpa harus menarik diri latar belakang mereka; aktivis, pemikir, jago diskusi, bisnismen dan yang lainnya. Mereka juga menyampaikan kampanyenya ke PPMI agar bisa membuat rancangan program Kampanye Anti-Rasib yang lebih nyata dan terlihat hasilnya. Pucuk dicinta ulam tiba, Presiden PPMI dan kabinetnya segera mengadakan pertemuan membahas ide yang muncul dari “rakyat” mahasiswa Indonesia di Mesir.
Tak lama, PPMI merencanakan program Kampanye Anti Rasib secara lebih menyeluruh. Salah satunya adalah merancang bimbingan belajar yang mendatangkan dosen-dosen Al-Azhar. Melalui lobi yang mereka lakukan pada pihak rektorat, didampingi KBRI Kairo, akhirnya Al-Azhar memfasilitasi program itu dan menyediakan fasilitas dan dosen-dosen yang tulus ikhlas membimbing para mahasiswa Indonesia.

Kairo, 18 Agustus 2008
            Siang yang terik itu, tidak mengurangi semangat para mahasiswa itu hadir di Auditorium Muhammad Abduh. Wajah para mahasiswa Indonesia yang hadir saat itu tersenyum cerah. Sabtu siang yang cerah itu, PPMI Mesir akan menerima penghargaan dari Universitas Al-Azhar  atas keberhasilan mereka dalam Kampanye Anti-Rasib yang dapat mengurangi angka rasib hingga 90 persen.
            Beberapa bulan setelah kampanye itu diresmikan oleh PPMI, organisasi persatuan pelajar Negara lain mengikuti kampanye yang dilakukan mahasiswa Indonesia. Kini, PPMI Mesir menjadi percontohan organisasi persatuan pelajar asing di Mesir. Karena itu Al-Azhar kini tidak hanya membimbing mahasiswa Indonesia tetapi juga mahasiswa asing lainnya.
            Di sebuah sudut auditorium luas itu, Abdi dan Hasan tersenyum puas. Ternyata kebersamaan membuat mereka merasa lebih kuat. Entah rancangan apalagi yang ada di otak mereka sekarang.  Penghargaan hari itu adalah kado terindah Peringatan Kemerdekaan RI ke-63 bagi mahasiswa Indonesia di Mesir.


*) Keterangan:
-       PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
-       Pating greges (Jawa): Meriang semua
-       Rasib (Arab) : Gagal dalam ujian

Labels: , , , , , , ,

11.07.2011

KURBAN

Sholat Idul Adha baru saja selesai dilaksanakan ketika Matahari mulai menebarkan kehangatah. Para jamaah mulai beranjak dari tempat duduk mereka untuk saling bersalaman dan mendoakan satu sama lain. Cuaca pagi itu cerah, secerah wajah-wajah mereka yang menyambut hari raya dengan suka cita.  
Seutas senyum terkembang di bibir Pak Salim ketika pengurus Masjid Al-Hidayah mengumumkan daftar pemilik hewan kurban yang akan disembelih pada Idul Adha tahun ini. Maklum saja, setiap tahun pengusaha sukses yang sering naik haji ini selalu berada di posisi teratas daftar penyumbang hewan kurban untuk masjid.
Hari Raya Kuban tahun ini Pak Salim menyerahkan 5 ekor sapi dan 20 ekor kambing kepada panitia penyembelihan. Daging hewan-hewan itu dibagikan untuk masyarakat sekitar masjid. Tentu saja, setiap Idul Adha masyarakat di kampung Pak Salim yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah bergembira karena bisa menikmati daging kurban. Tidak ada warga kampung yang tidak memperoleh daging. Bahkan karena banyaknya daging kurban, mereka juga membagikannya pada beberapa warga di kampung lain dan panti asuhan yatim piatu.
Oleh masyarakat sekitar Pak Salim dikenal sebagai orang yang dermawan. Ia suka bersedekah bagi warga yang membutuhkan. Ia juga tidak segan-segan untuk menyumbang fasilitas umum terutama Masjid Al-Hidayah. Meski kaya raya, ia dan keluarganya tetap dikenal sebagai orang yang ramah dan rendah hati. Ia juga kerap hadir dalam kegiatan di masjid dan kegiatan sosial lainnya. Jika tidak selalu sholat berjamaah di masjid, itu dapat dipahami karena ia adalah seorang bisnisman yang sibuk.
“Pak Salim, selamat atas hewan kurbannya, semoga amal Bapak dan keluarga diterima Allah,” seorang pengurus masjid menyapa Pak Salim.
“Amin…terima kasih Pak, semoga amal kita semua diterima Allah. Saya hanya berusaha mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan pada kami,” kata Pak Salim merendah.
Mereka berdua kemudian berjalan ke tempat penyembelihan di tepi tanah lapang yang biasanya digunakan anak-anak muda bermain bola. Hari itu setiap orang berbahagia merayakan hari raya. Yang mempunyai hewan kurban bergembira karena bisa melaksanakan perintah Allah. Yang menerima daging kurban turut merasakan keberkahan hari raya, bisa menikmati daging yang mungkin tidak mampu dibeli tiap hari.

***

Pak Salim merasa terkejut luar biasa ketika bangun tidur di suatu pagi. Ketika membuka mata ia merasa aneh dengan sekelilingnya. Ia merasa sangat yakin bahwa malam tadi, setelah menikmati sate kambing, ia tidur di atas kasur yang empuk di kamarnya. Pagi itu ia mendapati dirinya terbaring di sebuah kandang. Bau kotoran dan kencing binatang begitu menusuk hidung dan membuatnya merasa mual.
Keterkejutannya berkali lipat ketika ia merasa ada yang aneh dengan badannya. Ia tidak percaya dengan keadaannya saat ini. Ia menatap kaki dan tangannya dengan seksama. Mustahil! Kedua kaki dan tangannya berubah menjadi kaki binatang. Ia mencoba mengusap kedua matanya, barangkali ia salah lihat. Namun ia tidak mampu melakukannya. Kedua tangannya tidak mampu mencapai mukanya. Kaki dan tangannya telah benar-benar menjadi kaki kambing
Pak Salim juga merasa mulutnya menjadi panjang, monyong seperti mulut kambing. Tidak hanya itu ia merasa mampu dengan mudah menggerak-gerakkan telinganya. Kedua telinganya juga memanjang!
Badannya yang gemuk juga tidak lagi berbentuk manusia. Semuanya dipenuhi dengan rambut putih dan belang hitam. Ia terloncat karena panik luar biasa. Namun ia tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya. Kini ia harus bertumpu pada kaki dan tangannya yang sekarang berbentuk empat kaki kambing. Tidak mungkin!  
Ah, ia terkejut luar biasa dengan keadaannya. Ia berteriak minta tolong. Tapi yang terjadi hanya menambah kepanikannya. Yang keluar dari kerongkongannya adalah suara kambing yang serak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berteriak lagi, memanggil istri dan anak-anaknya. Sungguh sayang, usahanya sia-sia. Yang terdengar hanyalah suara kambing yang mengembik.
Ini mustahil! Ia lalu berusaha berlari untuk mencari pertolongan. Tiba-tiba lehernya terasa sakit. Ia tercekik. Sebuah tali mengikat lehernya. Ia mencoba melepaskan tali itu. ‘Tangannya’ berusaha menggapai tali dilehernya. Tapi ia merasa tidak mampu menyentuh lehernya. Ia meronta-ronta dan berteriak. Semakin ia meronta, lehernya semakin tercekik. Semakin keras ia berteriak, sia-sia, yang keluar hanya suara kambing.
Tali di lehernya terikat kuat di sebuah tiang. Ia tidak kuasa melepaskannya lalu kembali berbaring di tempat itu karena kelelahan. Sekarang ia tidak lagi peduli jika harus berbaring di atas tanah dengan rumput dan kotoran binatang berserakan di sekitarnya.
Air mata mulai menetes dari kedua matanya. Ini tidak mungkin! Aku adalah seorang manusia. Aku seorang suami dan ayah bagi anak-anakku. Aku seorang pengusaha yang kaya. Bagaimana mungkin keadaanku sekarang jadi begini? Ya Allah, apa yang terjadi?
Sambil terus bercucuran air mata, Pak Salim masih tidak percaya dengan keadaannya sekarang. Bagaimana mungkin sebagai seorang manusia, badannya berubah menjadi seekor binatang? Ia memang pernah mendengar kisah Bani Israel yang dikutuk menjadi kera karena durhaka pada Tuhan. Tapi itu zaman dahulu! Ribuan tahun lalu. Bagaimana mungkin itu terjadi pada dirinya? Ia hidup di zaman modern. Tidak pernah sekalipun ia tahu ada manusia yang badannya berubah menjadi binatang di zaman yang serba canggih ini.
Ah, ini hanya mimpi. Ini tidak mungkin terjadi padaku. Ia kembali meronta-ronta dan menghentak-hentakkan kakinya. Percuma, hanya membuat lehernya semakin sakit. Ia meratapi nasibnya yang sangat tidak masuk akal. Ia berdoa dalam hati agar segera dibangunkan dari tidurnya dan berharap ini hanya mimpi. Lama ia berdoa dan meratap, menyesali dosa-dosanya. Tak ada yang terjadi. Tak ada yang berubah. Ia juga tidak terbangun dari mimpi. Haji Salim Sulaiman telah berubah menjadi kambing!?
Ia hampir tertidur karena lelah ketika tiba-tiba lehernya terasa tercekik. Seseorang menarik tali yang mengikat lehernya. Tarikannya begitu kuat sehingga ia harus berdiri agar lehernya tidak sakit. Orang itu terus menarik tali di lehernya. Ia meronta. Percuma. Ia ingin berteriak bahwa ia seorang manusia. Sia-sia. Suara yang keluar adalah embikan kambing.
Orang itu terus menuntun ‘Pak Salim’ ke suatu tempat. Ia hanya mampu pasrah mengikuti penuntunnya. Ia dibawa ke sebuah kerumunan manusia. Seorang di antara mereka membawa sebuah parang panjang. Jangan-jangan....? Ah, tidak! Apakah mereka akan menyembelihku?
Tiba-tiba mereka memegangi kaki-kaki “Pak Salim” dengan kuat.  Tubuhnya lalu diangkat dan dibaringkan di depan sebuah lubang. Ah, jangan! Aku Salim Sulaiman, seorang manusia, jangan disembelih! Ia mencoba meronta dan berteriak. Tetapi tangan-tangan itu begitu kuat memegangi tubuhnya. Mereka juga mulai memegangi mulutnya sehingga suaranya tertahan. Akhirnya ia hanya mampu meneteskan air mata.
Seseorang yang membawa parang mulai memegang kepalanya. Ah, ia mengenali pria itu! Dia adalah Pak Suyanto, mantan rekan bisnisnya. Bukankah ia sedang dipenjara? Air matanya mengalir semakin deras. Ia menyesali perbuatan yang telah dilakukannya.
Beberapa tahun yang lalu perusahaan Pak Salim memenangkan sebuah tender proyek dari pemerintah senilai milyaran rupiah. Ia dan beberapa orang yang terlibat didalamnya menggelapkan sejumlah dana proyek. Dengan menyuap beberapa pihak, mereka berhasil menutupi perbuatan mereka.
Beberapa bulan kemudian, sebuah tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi mulai melakukan pemeriksaan terhadap proyek tersebut. Karena khawatir kejahatan mereka terbongkar, Pak Salim dan beberapa koleganya yang terlibat korupsi dalam proyek tersebut berusaha melakukan tipu muslihat. Dengan jaringan yang dimilikinya, mereka berhasil melakukan konspirasi untuk memojokkan Pak Suyanto yang tidak tahu apa-apa. Mereka membuat bukti-bukti palsu sehingga seolah-olah Pak Suyanto adalah pelaku penggelapan dana proyek pemerintah tersebut.
Ketika KPK menemukan bahwa ada penggelapan dana proyek tersebut, Pak Salim juga sempat diperiksa. Namun hal-hal yang menunjukkan keterlibatannya tidak dapat dibuktikan di pengadilan. Semua bukti dan saksi-saksi yang sudah disuapnya membuat pengadilan menyatakan Pak Suyanto sebagai pelaku korupsi dana proyek. Walaupun sudah berusaha mengelak dari tuduhan namun Pak Suyanto tidak dapat berkutik karena semua sudah diatur sebuah skenario. Dan, sutradaranya adalah Salim Sulaiman. Akhirnya Pak Suyanto dikenakan hukuman penjara beberapa tahun dan harus mengembalikan dana yang ‘dikorupsinya’.
Itu hanyalah satu kasus saja yang berhasil diketahui oleh KPK. Beberapa kali korupsi yang dilakukan Pak Salim berhasil ditutupi dengan baik. Bahkan tidak satu pun keluarganya yang tahu. Mereka hanya tahu bahwa suami dan ayah mereka adalah seorang yang baik dan dermawan. Mereka tidak tahu bahwa hewan-hewan korban, sedekah dan ongkos haji selama ini didapatkannya dengan cara mencuri. Kini ia baru menyesali kebusukannya sendiri. Ia bertobat dalam hati. Namun ia juga ragu, apakah tobatnya masih diterima oleh Tuhan dalam keadaan begini? Tobat seorang yang dikutuk menjadi kambing?
Sebuah benda dingin menempel di leher ‘Pak Salim’. Ia menatap wajah orang yang akan menyembelihnya dengan penuh penyesalan. Dalam hati ia merasa sangat menyesal. Ia telah berdosa pada Pak Suyanto dan keluarganya yang ikut menanggung fitnah yang dirancangnya. Pak Salim teringat keluarganya, istri dan anak-anaknya. Tak kuasa menghadapi apa yang sedang dihadapinya, ia lalu memejamkan matanya dan pasrah. Orang yang akan menyembelihnya mulai mengucapkan doa. Suaranya lamat-lamat terdengar di telinga ‘sang kambing’. Bismillahi Allahu Akbar....

***
Istri Pak Salim terkejut ketika suatu pagi ia tidak mendapati suaminya di tempat tidur. Anak-anaknya juga tidak tahu kemana ayahnya pergi. Padahal hari ini mereka sekeluarga hendak berkunjung ke rumah seorang kerabat untuk reuni keluarga sekaligus merayakan hari raya.
Tiba-tiba telepon di rumah mereka berdering. Istri Pak Salim bergegas mengangkat gagang telepon. Di seberang sana terdengar suara seorang pria yang sangat dikenalnya.
“Ma, maafkan Papa! Papa menyesal selama ini telah membohongi Mama dan banyak orang. Papa adalah seorang koruptor. Papa sudah menyerahkan diri. Sekarang Papa ada di Kantor Polisi....” Istri Pak Salim tiba-tiba merasa lemas, jantungnya berdetak keras dan keringatnya bercucuran. Kata-kata suaminya kemudian menjadi tidak jelas di telinganya. Karena gemetar ia menjatuhkan gagang telepon dari tangannya dan terduduk tak berdaya di lantai.
Di Kantor Polisi, Pak Salim menunduk dengan mata sembab. Ia tahu istrinya akan terkejut mendengar pengakuannya. Namun ia tidak punya pilihan.
Pagi tadi, ketika azan Subuh berkumandang, ia terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang aneh luar biasa. Terkejut, menyesal dan gemetar. Namun ia bersyukur telah terbangun dari mimpi buruknya. Ia masih Salim Sulaiman, seorang manusia. Mimpi itu seolah-olah nyata. Seakan-akan ia baru saja mengalaminya, menjadi kambing kurban..
Kemerduan Azan Subuh sedikit menenangkannya. Ia lalu berdiri dan bergegas pergi ke masjid. Setelah selesai sholat berjamaah dan bertobat pada Tuhan ia pergi ke kantornya untuk mengambil bukti-bukti semua korupsi yang dilakukannya. Dengan bukti itu ia mengakui kejahatannya dan menyerahkan diri. Akibat perbuatannya mungkin banyak manusia dan harta yang telah menjadi korban keserakahannya. Ia tidak ingin menunda penyesalannya walau sedetik, sebelum semuanya terlambat.


Kairo, Idul Adha 1430 H/ November 2009

Labels: , , , , , ,

4.19.2008

Mahasiswa dan Indonesia

Rengasdengklok, 16 Agustus 1945
Langit Karawang hari itu menjadi saksi berkibarnya Merah Putih di beberapa sudut Rengasdengklok. Angin semilir meniup dwiwarna yang suci bagi bangsa ini. Melambai-lambai seolah memekikkan pada setiap yang lewat, “Indonesia akan segera merdeka!”
Sejak hari sebelumnya, tonggak-tonggak bambu yang ujungnya terikat kain persegi empat berwarna merah putih dipancangkan di depan beberapa rumah. Para pejuang muda Rengasdengklok sudah tidak sabar, Indonesia harus merdeka sekarang juga!
Pagi buta, saat ayam jantan masih menyisakan kokok nyaringnya serombongan orang datang dari Jakarta. Di antara mereka, seorang pria setengah baya yang tampak berwibawa berjalan tegap di depan rombongan. Sesekali ia berbicara dengan pria berkacamata yang tak kalah wibawa di sampingnya. Mereka kemudian masuk sebuah rumah sederhana, milik seorang Tionghoa. Beberapa orang yang telah menunggu menyambut dengan pekikan, “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta, Indonesia sudah merdeka, Jepang sudah modar!”
Sebuah ruang tamu yang tidak seberapa luas menjadi saksi pertemuan golongan tua dan golongan muda itu. Mereka berunding, membicarakan sesuatu yang penting. Masa depan bangsa mereka yang berabad-abad menjadi bulan-bulanan penjajah.
“Anda harus segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera!” Seorang pemuda angkat bicara pada dua orang yang berwibawa itu.
“Segera?”
“Ya, segera! Hari ini, di sini! Kami sudah menyiapkan naskahnya,” tambah pemuda itu.
“Tidak! PPKI* sedang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan kami bertanggung jawab selaku pimpinannya.” Sergah orang yang baru datang dari Jakarta itu.
“Tidak bisa, PPKI adalah tipu muslihat Jepang, bangsa ini harus merdeka tanpa campur tangan penjajah...!” Pemuda itu makin tidak sabar. Suasana dalam ruangan itu makin memanas. Namun, dua orang “tetua” yang sedang dalam “penculikan” dan sedang “dituntut” oleh orang-orang muda itu bergeming dengan pendiriannya.
Para pemuda itu kemudian berunding menghadapi keteguhan sikap senior mereka. Beberapa di antara mereka menyusun perebutan kekuasaan tapi tidak semuanya mendukung rencana itu. Perjuangan mereka penuh liku-liku. Berat memang, memadukan keinginan-keinginan yang bersilangan.
Kabar berita dari rekan-rekan mereka di Jakarta tiada kunjung datang. Seorang pria muda dari kumpulan itu bergegas menuju Jakarta, hendak berunding dengan kawan-kawan seperjuangan mereka di sana.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Jarum jam membentuk kurva bersudut 120 derajat, menunjukkan pukul 08.00. Pria berwibawa yang biasanya tampak tegap itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Ia menggigil, meriang.
Pating greges...*,” katanya pada dokter yang merawatnya.
Malaria tertiana menyerang pria berwibawa itu. Semalaman ia begadang dengan kawan-kawannya untuk merumuskan “masa depan” tanah air mereka di rumah itu. Rumah seorang laksamana Jepang yang simpati.
Sebuah suntikan chinineurethan intramuculair dan pil brom chinine dari dokter membuatnya merasa lebih baik. Pukul 09.00 ia bangkit dari tempat tidur, wibawanya telah kembali. Dikenakannya pakaian putih-putih yang semakin menampakkan kegagahannya.
Jum’at pagi itu, halaman rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 Cikini itu terlihat sibuk. Beberapa orang tampak menegakkan sebuah tiang bambu, tepat di depan rumah. Beberapa lagi menyiapkan mikrofon. Mereka menyiapkan sebuah hajat besar dengan peralatan dan upacara sederhana, kemerdekaan Indonesia.
Pria berpakaian putih-putih itu berjalan tegap keluar menuju halaman. Rekannya yang berkacamata mendampinginya. Orang-orang yang hadir di rumah itu segera bersiap.
Pukul 10.00 pria berpakaian putih-putih itu membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Siaran radio menyiarkan langsung ke seluruh pelosok negeri. Di ujung kesederhanaan sebatang bambu, Merah Putih berkibar gagah di langit nusantara, Jum’at pagi itu. Pria-pria muda yang hadir menyaksikan peristiwa itu berpandangan, lalu tersenyum. Mereka menarik nafas lega, Indonesia sudah merdeka!

Alexandria, medio Juli 1945
Pantai di Laut Tengah pada malam itu masih mendeburkan ombak pada karangnya, seperti biasa. Semilir angin laut mengalunkan rhapsody kehidupan, seolah menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kerlip lampu perahu nelayan melengkapi orkestra alam.
Sebuah jam kayu di dinding ruangan menunjuk 22.00, saat itu. Empat puluh kelasi kapal berwajah melayu berkumpul, membincangkan sesuatu. Perkumpulan itu dipimpin beberapa mahasiswa yang berwajah melayu juga. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia.
Suasana malam di ruangan itu terasa emosional. Para mahasiswa yang sedang menimba ilmu di negeri Musa itu berpesan agar para kelasi itu mulai menabung. Jika setiap saat jihad kemerdekaan dikumandangkan, sebaiknya mereka meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidak menodai perjuangan.
Para kelasi yang sehari-hari berada di lautan samudra itu menyanggupi, “Jika fatwa sudah turun, kami akan memenuhi.”
Sumpah para kelasi itu tidak main-main. Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, dua orang kelasi Indonesia berjalan kaki dari Tunisia menuju Kairo. Mereka ingin bergabung dengan mahasiswa dari tanah airnya yang banyak bermukim di Mesir, untuk melanjutkan perjuangan.
“Kami menerima fatwa yang dibawa teman-teman kami dari Indonesia, tentang haramnya bekerja di kapal penjajah,” jawab kedua kelasi itu ketika ditanya kawan-kawannya di Mesir tentang perjalanan jauh yang mereka tempuh.

Kairo, suatu masa di 1946
Sekelompok mahasiswa Indonesia itu melakukan demonstrasi. Beberapa pemuda berwajah Arab mendampingi rekan-rekan mereka di kampus Al-Azhar. Mereka melakukan long march ke beberapa sudut Kairo. Meneriakkan kemerdekaan bagi negerinya. Kemerdekaan yang seharusnya tidak perlu lagi diteriakkan dan sudah menjadi hak semua bangsa di muka bumi. Kemerdekaan tanpa penindasan.
Di beberapa gedung, bendera-bendera negara sekutu diturunkan. Menyamarkan agar tidak menjadi sasaran demonstrasi. Di depan kedutaan Hindia Belanda, pelajar-pelajar perantauan itu secara heroik mencampakkan paspor-paspor Hindia Belanda milik mereka.
Tak lama setelah itu, sebuah sesi persidangan Liga Arab di kota ini berlangsung haru. Beberapa mahasiswa Indonesia mendengarkan dengan seksama ketika sebuah resolusi tentang negeri mereka dibacakan. Akhirnya mereka lega, upaya diplomasi mereka dalam forum itu membuahkan hasil. Mereka menjadi saksi dukungan asing untuk kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya.

Kairo, Agustus 2007
Abdi berjalan dengan gontai meninggalkan lorong koridor Fakultas Ushuluddin. Pengumuman hasil ujian membuatnya bermuram durja. Ia harus mengulang lagi satu tahun di Tingkat Pertama ini. Al-Azhar tidak semudah yang dibayangkannya. Dengan lesu ia melangkahkan kaki meninggalkan gerbang universitas tua itu.
Saat memasuki rumah, Hasan menyambutnya dengan wajah muram. Ia segera menegrti nasib sahabatnya itu sama dengannya. Harus mengulang satu tahun lagi. Tanpa banyak berkata-kata Abdi duduk di samping Hasan yang sedang terpekur.
“Kita harus berbuat sesuatu!” Hasan memecah kesunyian.
“Ya, sebenarnya aku sadar bahwa aku terlalu aktif di organisasi, bergerak ke sana dan kemari sampai akhirnya sulit membagi waktu untuk belajar, tak tega aku menolak ajakan senior,” Abdi mulai curhat tanpa diminta.
“Aku pun begitu, terlalu sering berdiskusi dan terlalu asyik dengan geng-ku sehingga pelajaran di kuliah kurang ku perhatikan,” tutur Hasan.
Mereka lalu terdiam.
Abdi menarik nafas lalu berujar,“Sebenarnya apa yang kita lakukan tidak salah, namun seringkali kita kelewatan.....terutama soal waktu.”
“Menurutmu apa yang harus kita lakukan?” tanya Hasan.
“Tampaknya kalo bersama-sama kita akan lebih kuat menghadapi semua ini!”
“Ya, aku setuju. Kamu boleh tetap aktif di organisasimu dan aku juga tidak akan berhenti dengan diskusi-diskusi di kelompokku. Hanya saja kita harus merancang sesuatu agar kita bisa tetap bertahan pada koridor tujuan awal kita.”
Hasan dan Abdi meneruskan ide-ide yang ada dalam otak mereka. Mereka berdua sepakat akan berkampanya melawan rasib* di kalangan mahasiswa Indonesia. Hasan menghubungi kawan-kawan diskusinya, mengajak mereka memecahkan masalah perkuliahan bersama-sama. Abdi melakukan hal yang sama pada kawan-kawan organisasinya. Beberapa kali, para mahasiswa bebeda latar belakang ini berkumpul untuk merancang program demi Kampanye Anti-Rasib.
Hari demi hari, kampanye yang dimotori Hasan, Abdi dan kelompok mereka masing-masing semakin gencar. Orang-orang muda ini berusaha menciptakan suasana dan lingkungan berorientasi pada perkuliahan tanpa harus menarik diri latar belakang mereka; aktivis, pemikir, jago diskusi, bisnismen dan yang lainnya. Mereka juga menyampaikan kampanyenya ke PPMI agar bisa membuat rancangan program Kampanye Anti-Rasib yang lebih nyata dan terlihat hasilnya. Pucuk dicinta ulam tiba, Presiden PPMI dan kabinetnya segera mengadakan pertemuan membahas ide yang muncul dari “rakyat” mahasiswa Indonesia di Mesir.
Tak lama, PPMI merencanakan program Kampanye Anti Rasib secara lebih menyeluruh. Salah satunya adalah merancang bimbingan belajar yang mendatangkan dosen-dosen Al-Azhar. Melalui lobi yang mereka lakukan pada pihak rektorat, didampingi KBRI Kairo, akhirnya Al-Azhar memfasilitasi program itu dan menyediakan fasilitas dan dosen-dosen yang tulus ikhlas membimbing para mahasiswa Indonesia.

Kairo, 18 Agustus 2008
Siang yang terik itu, tidak mengurangi semangat para mahasiswa itu hadir di Auditorium Muhammad Abduh. Wajah para mahasiswa Indonesia yang hadir saat itu tersenyum cerah. Sabtu siang yang cerah itu, PPMI Mesir akan menerima penghargaan dari Universitas Al-Azhar atas keberhasilan mereka dalam Kampanye Anti-Rasib yang dapat mengurangi angka rasib hingga 90 persen.
Beberapa bulan setelah kampanye itu diresmikan oleh PPMI, organisasi persatuan pelajar Negara lain mengikuti kampanye yang dilakukan mahasiswa Indonesia. Kini, PPMI Mesir menjadi percontohan organisasi persatuan pelajar asing di Mesir. Karena itu Al-Azhar kini tidak hanya membimbing mahasiswa Indonesia tetapi juga mahasiswa asing lainnya.
Di sebuah sudut auditorium luas itu, Abdi dan Hasan tersenyum puas. Ternyata kebersamaan membuat mereka merasa lebih kuat. Entah rancangan apalagi yang ada di otak mereka sekarang. Penghargaan hari itu adalah kado terindah Peringatan Kemerdekaan RI ke-63 bagi mahasiswa Indonesia di Mesir.

*) Keterangan:

- PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

- Pating greges (Jawa): Meriang semua

- Rasib (Arab) : Gagal dalam ujian

Cerpen di atas adalah sebuah cerpen fiksi-sejarah yang saya ikutkan lomba di peringatan 17-an di Kairo tahun 2007 lalu, dan alhamdulillah belum menang :). Jadi dari pada blog ini nganggur melulu dan membosankan, akhirnya cerpen ini saya posting di sini. Karena itu segala kritik, saran dan komentar terbuka lebar untuk semua.

Labels: , , ,