Mereka Mahasiswa
Rengasdengklok, 16
Agustus 1945
Langit Karawang hari itu menjadi saksi berkibarnya Merah Putih di beberapa
sudut Rengasdengklok. Angin semilir meniup dwiwarna yang suci bagi bangsa ini.
Melambai-lambai seolah memekikkan pada setiap yang lewat, “Indonesia akan
segera merdeka!”
Sejak hari sebelumnya, tonggak-tonggak bambu yang ujungnya terikat kain persegi
empat berwarna merah putih dipancangkan di depan beberapa rumah. Para pejuang
muda Rengasdengklok sudah tidak sabar, Indonesia harus merdeka sekarang juga!
Pagi buta, saat ayam jantan masih menyisakan kokok nyaringnya serombongan
orang datang dari Jakarta. Di antara mereka, seorang pria setengah baya yang
tampak berwibawa berjalan tegap di depan rombongan. Sesekali ia berbicara
dengan pria berkacamata yang tak kalah wibawa di sampingnya. Mereka kemudian
masuk sebuah rumah sederhana, milik seorang Tionghoa. Beberapa orang yang telah
menunggu menyambut dengan pekikan, “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta, Indonesia
sudah merdeka, Jepang sudah modar!”
Sebuah ruang tamu yang tidak seberapa luas menjadi saksi pertemuan golongan
tua dan golongan muda itu. Mereka berunding, membicarakan sesuatu yang penting.
Masa depan bangsa mereka yang berabad-abad menjadi bulan-bulanan penjajah.
“Anda harus segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera!”
Seorang pemuda angkat bicara pada dua orang yang berwibawa itu.
“Segera?”
“Ya, segera! Hari ini, di sini! Kami sudah menyiapkan naskahnya,” tambah
pemuda itu.
“Tidak! PPKI* sedang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan kami
bertanggung jawab selaku pimpinannya.” Sergah orang yang baru datang dari
Jakarta itu.
“Tidak bisa, PPKI adalah tipu muslihat Jepang, bangsa ini harus merdeka
tanpa campur tangan penjajah...!” Pemuda itu makin tidak sabar. Suasana dalam
ruangan itu makin memanas. Namun, dua orang “tetua” yang sedang dalam
“penculikan” dan sedang “dituntut” oleh orang-orang muda itu bergeming dengan
pendiriannya.
Para pemuda itu kemudian berunding menghadapi keteguhan sikap senior
mereka. Beberapa di antara mereka menyusun perebutan kekuasaan tapi tidak
semuanya mendukung rencana itu. Perjuangan mereka penuh liku-liku. Berat
memang, memadukan keinginan-keinginan yang bersilangan.
Kabar berita dari rekan-rekan mereka di Jakarta tiada kunjung datang.
Seorang pria muda dari kumpulan itu bergegas menuju Jakarta, hendak berunding
dengan kawan-kawan seperjuangan mereka di sana.
Jakarta, 17 Agustus
1945
Jarum jam membentuk kurva bersudut 120 derajat, menunjukkan pukul 08.00.
Pria berwibawa yang biasanya tampak tegap itu masih meringkuk di atas tempat
tidur. Ia menggigil, meriang.
“Pating greges...*,” katanya pada dokter yang merawatnya.
Malaria tertiana menyerang pria berwibawa itu. Semalaman ia begadang dengan
kawan-kawannya untuk merumuskan “masa depan” tanah air mereka di rumah itu.
Rumah seorang laksamana Jepang yang simpati.
Sebuah suntikan chinineurethan intramuculair dan pil brom chinine
dari dokter membuatnya merasa lebih baik. Pukul 09.00 ia bangkit dari
tempat tidur, wibawanya telah kembali. Dikenakannya pakaian putih-putih yang
semakin menampakkan kegagahannya.
Jum’at pagi itu, halaman rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 Cikini itu
terlihat sibuk. Beberapa orang tampak menegakkan sebuah tiang bambu, tepat di
depan rumah. Beberapa lagi menyiapkan mikrofon. Mereka menyiapkan sebuah hajat
besar dengan peralatan dan upacara sederhana, kemerdekaan Indonesia.
Pria berpakaian putih-putih itu berjalan tegap keluar menuju halaman.
Rekannya yang berkacamata mendampinginya. Orang-orang yang hadir di rumah itu
segera bersiap.
Pukul 10.00 pria berpakaian putih-putih itu membacakan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Siaran radio menyiarkan langsung ke seluruh pelosok
negeri. Di ujung kesederhanaan sebatang bambu, Merah Putih berkibar gagah di
langit nusantara, Jum’at pagi itu. Pria-pria muda yang hadir menyaksikan
peristiwa itu berpandangan, lalu tersenyum. Mereka menarik nafas lega,
Indonesia sudah merdeka!
Alexandria, medio Juli
1945
Pantai di Laut Tengah pada malam itu masih mendeburkan ombak pada
karangnya, seperti biasa. Semilir angin laut mengalunkan rhapsody
kehidupan, seolah menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kerlip
lampu perahu nelayan melengkapi orkestra alam.
Sebuah jam kayu di dinding ruangan
menunjuk 22.00, saat itu. Empat puluh kelasi kapal berwajah melayu berkumpul,
membincangkan sesuatu. Perkumpulan itu dipimpin beberapa mahasiswa yang
berwajah melayu juga. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia.
Suasana malam di ruangan itu terasa
emosional. Para mahasiswa yang sedang menimba ilmu di negeri Musa itu berpesan
agar para kelasi itu mulai menabung. Jika setiap saat jihad kemerdekaan
dikumandangkan, sebaiknya mereka meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidak
menodai perjuangan.
Para kelasi yang sehari-hari berada
di lautan samudra itu menyanggupi, “Jika fatwa sudah turun, kami akan
memenuhi.”
Sumpah para kelasi itu tidak
main-main. Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan,
dua orang kelasi Indonesia berjalan kaki dari Tunisia menuju Kairo. Mereka
ingin bergabung dengan mahasiswa dari tanah airnya yang banyak bermukim di
Mesir, untuk melanjutkan perjuangan.
“Kami menerima fatwa yang dibawa
teman-teman kami dari Indonesia, tentang haramnya bekerja di kapal penjajah,”
jawab kedua kelasi itu ketika ditanya kawan-kawannya di Mesir tentang
perjalanan jauh yang mereka tempuh.
Kairo, suatu masa di
1946
Sekelompok mahasiswa Indonesia itu
melakukan demonstrasi. Beberapa pemuda berwajah Arab mendampingi rekan-rekan
mereka di kampus Al-Azhar. Mereka melakukan long march ke beberapa sudut
Kairo. Meneriakkan kemerdekaan bagi negerinya. Kemerdekaan yang seharusnya
tidak perlu lagi diteriakkan dan sudah menjadi hak semua bangsa di muka bumi.
Kemerdekaan tanpa penindasan.
Di beberapa gedung, bendera-bendera
negara sekutu diturunkan. Menyamarkan agar tidak menjadi sasaran demonstrasi.
Di depan kedutaan Hindia Belanda, pelajar-pelajar perantauan itu secara heroik
mencampakkan paspor-paspor Hindia Belanda milik mereka.
Tak lama setelah itu, sebuah sesi
persidangan Liga Arab di kota ini berlangsung haru. Beberapa mahasiswa
Indonesia mendengarkan dengan seksama ketika sebuah resolusi tentang negeri
mereka dibacakan. Akhirnya mereka lega, upaya diplomasi mereka dalam forum itu
membuahkan hasil. Mereka menjadi saksi dukungan asing untuk kemerdekaan
Republik Indonesia untuk pertama kalinya.
Kairo, Agustus 2007
Abdi berjalan dengan gontai
meninggalkan lorong koridor Fakultas Ushuluddin. Pengumuman hasil ujian
membuatnya bermuram durja. Ia harus mengulang lagi satu tahun di Tingkat Pertama
ini. Al-Azhar tidak semudah yang dibayangkannya. Dengan lesu ia melangkahkan
kaki meninggalkan gerbang universitas tua itu.
Saat memasuki rumah, Hasan
menyambutnya dengan wajah muram. Ia segera menegrti nasib sahabatnya itu sama
dengannya. Harus mengulang satu tahun lagi. Tanpa banyak berkata-kata Abdi
duduk di samping Hasan yang sedang terpekur.
“Kita harus berbuat sesuatu!” Hasan
memecah kesunyian.
“Ya, sebenarnya aku sadar bahwa aku
terlalu aktif di organisasi, bergerak ke sana dan kemari sampai akhirnya sulit
membagi waktu untuk belajar, tak tega aku menolak ajakan senior,” Abdi mulai
curhat tanpa diminta.
“Aku pun begitu, terlalu sering
berdiskusi dan terlalu asyik dengan geng-ku sehingga pelajaran di kuliah kurang
ku perhatikan,” tutur Hasan.
Mereka lalu terdiam.
Abdi menarik nafas lalu berujar,“Sebenarnya
apa yang kita lakukan tidak salah, namun seringkali kita kelewatan.....terutama
soal waktu.”
“Menurutmu apa yang harus kita lakukan?” tanya Hasan.
“Tampaknya kalo bersama-sama kita akan lebih kuat menghadapi semua ini!”
“Ya, aku setuju. Kamu boleh tetap aktif di organisasimu dan aku juga tidak
akan berhenti dengan diskusi-diskusi di kelompokku. Hanya saja kita harus
merancang sesuatu agar kita bisa tetap bertahan pada koridor tujuan awal kita.”
Hasan dan Abdi meneruskan ide-ide yang ada dalam otak mereka. Mereka berdua
sepakat akan berkampanya melawan rasib* di kalangan mahasiswa Indonesia.
Hasan menghubungi kawan-kawan diskusinya, mengajak mereka memecahkan masalah
perkuliahan bersama-sama. Abdi melakukan hal yang sama pada kawan-kawan
organisasinya. Beberapa kali, para mahasiswa bebeda latar belakang ini
berkumpul untuk merancang program demi Kampanye Anti-Rasib.
Hari demi hari, kampanye yang dimotori Hasan, Abdi dan kelompok mereka
masing-masing semakin gencar. Orang-orang muda ini berusaha menciptakan suasana
dan lingkungan berorientasi pada perkuliahan tanpa harus menarik diri latar
belakang mereka; aktivis, pemikir, jago diskusi, bisnismen dan yang lainnya.
Mereka juga menyampaikan kampanyenya ke PPMI agar bisa membuat rancangan
program Kampanye Anti-Rasib yang lebih nyata dan terlihat hasilnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, Presiden PPMI dan kabinetnya segera mengadakan
pertemuan membahas ide yang muncul dari “rakyat” mahasiswa Indonesia di Mesir.
Tak lama, PPMI merencanakan program Kampanye Anti Rasib secara lebih
menyeluruh. Salah satunya adalah merancang bimbingan belajar yang mendatangkan
dosen-dosen Al-Azhar. Melalui lobi yang mereka lakukan pada pihak rektorat,
didampingi KBRI Kairo, akhirnya Al-Azhar memfasilitasi program itu dan
menyediakan fasilitas dan dosen-dosen yang tulus ikhlas membimbing para
mahasiswa Indonesia.
Kairo, 18 Agustus 2008
Siang yang terik itu, tidak mengurangi semangat para mahasiswa
itu hadir di Auditorium Muhammad Abduh. Wajah para mahasiswa Indonesia yang hadir saat itu
tersenyum cerah. Sabtu siang yang cerah itu, PPMI Mesir akan menerima
penghargaan dari Universitas Al-Azhar
atas keberhasilan mereka dalam Kampanye Anti-Rasib yang dapat
mengurangi angka rasib hingga 90 persen.
Beberapa
bulan setelah kampanye itu diresmikan oleh PPMI, organisasi persatuan pelajar
Negara lain mengikuti kampanye yang dilakukan mahasiswa Indonesia . Kini, PPMI Mesir menjadi
percontohan organisasi persatuan pelajar asing di Mesir. Karena itu Al-Azhar
kini tidak hanya membimbing mahasiswa Indonesia tetapi juga mahasiswa
asing lainnya.
Di
sebuah sudut auditorium luas itu, Abdi dan Hasan tersenyum puas. Ternyata
kebersamaan membuat mereka merasa lebih kuat. Entah rancangan apalagi yang ada
di otak mereka sekarang. Penghargaan
hari itu adalah kado terindah Peringatan Kemerdekaan
RI ke-63 bagi mahasiswa Indonesia
di Mesir.
*) Keterangan:
- PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
- Pating greges (Jawa): Meriang semua
- Rasib (Arab) : Gagal dalam ujian
Labels: Al-Azhar, Cerpen, fiksi, Indonesia, Kairo, mahasiswa, Mesir, sejarah
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home