6.13.2012

Fotografi Bukan Sekedar Menangkap Cahaya


Suatu hal yang menarik bagi saya dalam dunia fotografi adalah bahwa fotografi tidak melulu soal kamera yang menangkap cahaya untuk menghasilkan gambar. Ada banyak ilmu lain yang mendukung fotografi dalam menyampaikan pesan melalui karya foto.

Seorang fotografer perlu tahu seni rupa yang mempelajari garis, lengkung dan warna untuk memberikan sentuhan artistik. Ilmu semiotika sangat penting dipelajari agar apa yang ditampilkan dalam karya foto sesuai dengan pesan dan maksud sang fotografer. Jangan sampai fotografer ingin menyampaikan A tetapi foto yang ditampilkannya berkata B.   

Pesan moral dalam sebuah foto bisa menjadi kekuatan yang dahsyat untuk menggugah kesadaran kemanusiaan. Misalnya beberapa bulan yang lalu media massa menampilkan foto-foto beberapa siswa SD dan SMP yang menyeberang sebuah sungai dengan bergelantungan melalui jembatan yang rusak di sebuah daerah di Jawa Barat. Pesan yang kuat dalam foto tersebut mampu menarik perhatian masyarakat secara nasional maupun internasional dalam waktu singkat. Pada akhirnya, pemerintah setempat tergerak untuk segera membangun jembatan di daerah terpencil tersebut.

Dalam kaitannya dengan manusia sebagai obyek fotografi, seorang fotografer sedikit banyak juga perlu mempelajari karakter manusia (psikologi) dan budaya masyarakat. Dengan mengetahui karakter manusia kita bisa tahu saat yang tepat untuk mendapatkan gambar yang terbaik dengan ekspresi yang diinginkan. Termasuk bagaimana melakukan pendekatan komunikasi agar obyek foto merasa nyaman dengan apa yang kita lakukan dan tidak menolak untuk difoto. Dengan mengetahui budaya setempat seorang fotografer diharapkan mengetahui etika setempat dalam melaksanakan tugasnya. Tentunya antara satu tempat dan tempat yang lain berbeda dalam kebiasaan, kesopanan, cara pandang dan lain sebagainya. Pendekatan budaya seperti ini akan mempermudah keberhasilan tugas seorang fotografer.

Foto di atas adalah potret seorang penjual kurma dan anaknya di pasar Khan el-Khalili – Husein, Kairo. Saat itu saya dan beberapa teman dari Indonesian Photographic Society in Cairo (IPSC) sedang melakukan perjalanan untuk mendapatkan foto-foto sebagai yang menjadi tugas di kelas Human Interest (HI). Sejak melihat penjual kurma tersebut saya sudah tertarik untuk memotretnya. Namun tidak serta merta saya arahkan kamera untuk mengambil gambarnya. Ketika melewatinya saya tersenyum dan menyapanya dengan mengucapkan salam. Dengan senyuman khas, penjual kurma ini menjawab salam saya. Sebuah tanda awal penerimaan yang baik.

Melihat saya membawa kamera, tanpa saya minta dia bahkan menawarkan diri untuk difoto. Tentu sebuah kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Foto di atas adalah foto pertama dari penjual kurma tersebut yang saya ambil dari jarak beberapa meter. Setelah beberapa kali mengambil gambar dari jauh, saya mendekat, menanyakan kabarnya dan mengobrol dengannya beberapa saat. Ia berasal dari Aswan, Mesir bagian selatan. Orangnya ramah sekali. Kami mengobrol cukup banyak. Ia menanyakan tentang Indonesia, berapa lama kami di Mesir ini dan apa yang kami lakukan di Mesir. Dia tampak senang mengetahui bahwa kami adalah pelajar di Al-Azhar.

Orang Mesir sangat menghormati Al-Azhar sebagai sebuan institusi keagamaan. Mereka bangga dengan Al-Azhar yang dikenal dunia internasional selama berabad-abad. Bagi kami, pengetahuan ini menjadi penting sebagai nilai lebih dalam melakukan pendekatan budaya.

Di sela-sela pembicaraan kami, saya ambil beberapa gambar secara close-up. Ia sama sekali tidak keberatan dan saya bisa dengan bebas mengambil foto sesuai yang saya inginkan. Tentu saja tanpa membuatnya merasa diabaikan.

Pada saat itu menjelang Maghrib di bulan puasa. Ketika pamit hendak melanjutkan perjalanan, dia memberi saya segenggam kurma pilihan di antara beberapa jenis kurma yang dijualnya sebagai tanda persahabatan. Katanya untuk berbuka puasa. Budaya Arab sangat menghargai tamu, mereka akan menjamu tamunya sebaik mungkin. Jika suatu saat Anda bertemu dengan orang seperti itu, jangan ditolak atau diterima langsung. Pertama ungkapkan basa-basi untuk menolaknya sekali atau dua kali, dia akan memaksa Anda menerima pemberiannya, lalu terimalah pemberiannya dengan senyuman. Itu akan menjadi sebuah kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Dan tentu saja ini akan menguatkan ikatan kemanusiaan antara seorang fotografer dengan obyek foto.

Hal di luar teknis fotografi seperti ini tidak akan ketahui jika kita hanya mengandalkan kemampuan penguasaan teknik dasar saja. Bahkan pengetahuan di luar teknik ini seringkali menjadi faktor dominan penentu hasil karya yang bagus.

Sebelum belajar di IPSC saya belajar fotografi secara otodidak. Saat itu saya tidak begitu menyadari tentang faktor-faktor pendukung fotografi di luar teknis seperti di atas. Ternyata di balik sebuah foto bagus terdapat banyak sekali pengetahuan yang dibutuhkan dari sekedar metering (mengatur pencahayaan), menentukan komposisi dan memencet tombol picu. Walaupun demikian, pengetahuan tentang teknik dasar fotografi mutlak diketahui seorang fotografer. Kata kunci yang sering kami dengar ketika belajar di Akademi IPSC adalah; "Make a picture, not just take a picture!"


Faisal Zulkarnaen
Kairo, 13 Juni 2012 

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home