12.01.2023

Surat dari Raja Yaman

 Sebelum lahirnya Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam, di Yaman terdapat seorang raja bernama Sa'ad bin Ma'di Karib, panggilannya Tubba (banyak pengikut) karena pasukannya yang banyak. Dia menaklukan banyak negeri dan menyimpan orang kepercayaannya sebagai wakil.


Dia juga berhasil menaklukan Madinah dan menyimpan salah seorang anaknya sebagai wakil. Satu waktu anaknya tersebut terbunuh oleh orang yang tidak dikenal. Tubba marah dan menyerang Madinah.


Ketika perang berkecamuk, muncul tujuh orang Ahlu Kitab yang meminta Tubba agar menghentikan niatnya menghancurkan Madinah, sebab kota ini merupakan tempat hijrahnya Nabi Akhir Zaman. Siapapun yang berniat menghancurkannya akan binasa.


Tubba percaya dan menghentikan peperangan. Tubba kemudian memeluk Islam dengan iman yang teguh. Ia juga mengunjungi Makkah dan memberi Kiswah pada Ka'bah.


Tubba bertanya, "Apakah Nabi Akhir Zaman akan muncul selagi aku masih hidup?" Ahlu Kitab menjawab, "Tidak. Nabi Akhir Zaman akan muncul beberapa generasi kemudian."

`

Tubba kemudian menulis surat yang menyatakan bahwa dirinya seorang Muslim. Ia memberi salinan surat tersebut kepada 10 orang yang tinggal di Madinah dan menunjuk Zaid bin Kulaib sebagai pemimpin.


Tubba mewasiatkan untuk menyampaikan surat tersebut bila Rasulullah tiba di Madinah. Namun ke-10 orang tersebut tidak sempat menjumpai masa Rasulullah, sehingga wasiat tersebut diamanahkan ke anaknya masing-masing.


Ketika Rasulullah tiba di Madinah, semua kabilah meminta beliau agar tinggal di kampungnya. Namun beliau memutuskan akan tinggal dimana untanya berhenti.


Ternyata unta tersebut berhenti di kampung Bani Malik bin Najjar, tepat di depan rumah kepala sukunya yang bernama Khalid. Khalid yang dikenal sebagai Abu Ayyub Al-Anshari, adalah putra dari Zaid bin Kulaib, pemimpin pemegang wasiat Tubba.


Abu Ayyub lalu menunjukan surat Tubba yang ia terima dari ayahnya kepada Rasulullah. Beliau amat terkesan dan mendoakan Tubba. Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub hingga pembangunan rumah dan masjid beliau selesai.


Referensi :

Kitab Qishashul Anbiya, Syeikh Nashiruddin Ar-Rabghuzi


#sirohnabawi #qishashulanbiya #kisahparanabi #kisahlangkaparanabi #tobudarkah

6.20.2022

Menjual Ilmu Agama?


 Bismillah...

Tangkapan layar status ini sedang viral.
Saya melihatnya dari dua sisi. Yaitu sisi personal hafidz/guru dan lembaga pendidikannya. Biar tidak rancu.

Seorang penghafal alQuran atau secara umum yg belajar ilmu agama hendaknya sadar dan yakin jika ilmunya wajib diamalkan dan tidak mengharapkan dunia dengan ilmunya itu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله تعالى لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها

“Siapa yang menuntut ilmu yang dari ilmu tersebut mengharapkan wajah Allah (ridho Allah) dan ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan dunia, dia tidak akan mencium bau surga nanti pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al-Hakim berkata shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim).

Di kalangan santri, hadis ini seharusnya sudah melekat dan diajarkan di awal nyantri. Sehingga jangan sampai ada santri menghafal Al-Qur'an atau menuntut ilmu agama dengan niat agar nantinya menjadi ini dan itu dengan gaji sekian atau pendapatan sekian per bulan. Banyak orang tua yang karena keterbatasan ilmunya berfikir demikian. Memondokkan anak agar besok jadi ustadz atau kyai atau profesor dll. Yang lebih parah dengan orientasi agar nanti bisa ceramah di sana sini untuk dapat amplop dengan mudah. Naudzubillah min dzalik...

Saya sendiri yang sejak SMA secara khusus belajar ilmu agama, punya prinsip jangan sampai mencari uang dengan ilmu agama. Sampai detik ini tidak pernah terbersit untuk mendapatkan penghasilan dari ilmu yg saya peroleh sejak dari pesantren hingga kuliah. Tetapi untuk mengamalkan dan mengajarkannya tetap menjadi kewajiban. Untuk penghasilan bagaimana?

Saya mengikuti madzhab para ulama yang bekerja atau berwirausaha di luar kesibukannya mengajar. Karena itu saya pernah menjalani banyak pekerjaan di luar belajar dan mengajar. Pernah menjadi tukang cuci piring diri rumah makan, jadi kasir pengiriman uang, jual tempe tahu, asisten Country GM sebuah perusahaan multi-nasional, jualan herbal, jual es batu, jual air minum, jual tiket dan pulsa, agen travel umroh dan kini jual kopi, kurma dan frozen food. Istilahnya O2D alias Opo-Opo Didol hahahaha... Atau dengan menabung kemudian diinvestasikan. Ini cara saya mendapatkan penghasilan. Dan sebenarnya masih banyak lagi pengalaman pekerjaan saya untuk menafkahi diri dan keluarga. Hehe...

Di luar semua pekerjaan itu, profesi utama saya adalah mengajar. Itu adalah kewajiban yang mudah-mudahan tercatat sebagai pengabdian. Kalau mendapat uang dari mengajar anggap saja sebagai bonus, jadi berapa pun yg didapat tidak akan mengeluh.

Maka kalau Anda ingin kaya jangan jadi guru. Rugi kalau ingin kaya dari menjadi guru. Apalagi di Indonesia. Sudah harta nggak dapat, akhirat juga sudah pasti lewat karena salah niat.

Saya jadi ingat di Al-Azhar, di sana dokter, insinyur, mekanik, arsitek atau apa saja profesinya banyak yg menjadi penghafal Qur'an. Bahkan sopir taksi dan penjual makanan di pinggir jalan. Mereka santai saja.

Kedua dari sisi lembaga pendidikan. Membaca ini Anda harus benar-benar lepas dari pandangan sisi pertama biar tidak bertabrakan.
Urusan mengajar harus ikhlas kita cukupkan di bagian pertama tadi. Sekarang urusan lembaga pendidikan Islam.

Ada dua jenis lembaga pendidikan. Yang pertama lembaga pendidikan dengan fasilitas dan dana terbatas. Seperti sekolah agama, TPQ dan Madrasah Diniyah di kampung-kampung. Yang para siswa atau santrinya membayar sekedarnya dan gurunya juga dibayar sekedar ganti uang transportasi. Istilahnya bisyaroh bukan gaji. Ini kalau gurunya tidak ikhlas pasti rugi dunia akhirat. Kadang untuk transport saja tidak cukup.

Kedua lembaga pendidikan yang punya fasilitas lengkap dan menarik bayaran cukup tinggi dari santri atau siswanya. Dengan tujuan meningkatkan fasilitas belajar mengajar. Tidak ada masalah dengan ini. Karena segmen santrinya juga berbeda. Kebanyakan yg belajar di sana dari anak-anak dengan orang tua yang ekonominya menengah ke atas dan ingin anaknya mendapatkan pendidikan dengan fasilitas memadai. Targetnya memang begitu, daripada orang-orang kaya ini menyekolahkan anaknya di sekolah yg fasilitasnya lengkap tapi minim ilmu agama.

Banyak dari lembaga pendidikan ini yang menyediakan beasiswa sekian persen untuk anak-anak yang kekurangan secara ekonomi. Jadi tidak ada masalah sama sekali.

Problemnya adalah ketika sekolah jenis kedua ini ingin menyediakan fasilitas fisik memadai tapi melupakan salah satu fasilitas atau bahkan bagian inti dari pendidikan yaitu guru. Bagi saya itu miris. Saya tidak mengatakan semuanya begitu, tapi ada. Salah satunya mungkin seperti di tangkapan layar status curhatan orang tua ini.

Kalau melihat jenis sekolahnya full day school kemudian gurunya hadir penuh seminggu 6 hari dengan bisyaroh 500ribu per bulan ya bagaimana ya? Hehe nggak enak ngomongnya... Silahkan simpulkan sendiri. Maaf, buat ganti bensin saja bisa ngepres banget. Pakai logika saja tidak masuk. Apalagi yang sudah berkeluarga.

Bahkan ada yang jam kerjanya tidak pasti di luar jam mengajar karena semangat pengabdian pada lembaga atau karena tuntutan pekerjaannya. Kalau tidak dipikirkan tentang kesejahteraannya ya tidak manusiawi. Pertama bisa ikhlas, tapi kalau lemburnya tiap hari tapi jatah beli beras sudah habis, meteran listrik berbunyi dan indikator bensin sudah berkedip-kedip...di dompet tinggal 10ribu rupiah saja. Silahkan direnungkan.

Saya kira ini perlu menjadi perhatian lembaga pendidikan Islam dimana pun berada. Jangan hanya membangun fasilitas fisik tapi fasilitator inti pendidikan diabaikan. Bagaimana membuat guru fokus mengajar jika mereka masih harus memikirkan bagaimana mendapatkan tambahan agar dapur tetap mengebul.

Wah, sudah panjang aja status ini... Akhirnya saya tutup dengan nasehat Kyai Anis Mashduqi :

"Yang lembaganya sudah maju, kesejahteraan guru itu prioritas. Yang masih berjuang, ajak guru-guru ikhlas berjuang, tapi pengasuh jangan naik Innova Venturer dulu.... "

Wallahu a'lam...

3.06.2020

Sabda Rasulullah Tentang Wabah Penyakit

و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ إِنَّمَا انْصَرَفَ بِالنَّاسِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ

Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah bahwa “Pada suatu ketika ‘Umar bin Khaththab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya.’ Maka Umar pun kembali dari Saragh. Dan dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah; bahwa Umar kembali bersama orang-orang setelah mendengar Hadits Abdurrahman bin Auf. (Hadits Shahih Muslim No. 4115 – Kitab Salam)

Rasulullah juga melarang menimbun barang untuk mencari keuntungan:
وله صلى الله عليه وسلم : من احتكر فهو خاطئ
Rasulullah SAW bersabda, orang yang menimbun barang maka ia berdosa.”
Para ahli bahasa menjelaskan bahwa redaksi “khaati'” dalam hadis di atas bukan hanya berarti salah, tetapi juga berarti berdosa (aatsim). 
Sungguh tidak punya moral orang yang menari di atas penderitaan sesamanya.
mam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan menimbun barang dalam hadis di atas bukanlah berarti menimbun secara umum, akan tetapi membeli barang tertentu, bisa secara borongan, dan menyimpannya dalam keadaan tertentu agar harga barang tersebut melambung tinggi karena langka.
Pendapat an-Nawawi ini juga diamini oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang menyebutkan,
قال الحافظ : الاحتكار الشرعي إمساك الطعام عن البيع وانتظار الغلاء مع الاستغناء عنه وحاجة الناس إليه
al-Hafiz (Ibn Hajar al-Asyqalani) berpendapat: Menimbun barang adalah menahan barang untuk tidak menjual dan menunggu pada masa langka dengan tujuan mencari keutungan dan karena dibutuhkan banyak orang.
Menurut an-Nawawi, jika ada orang yang berperilaku seperti demikian, terutama saat masa-masa genting. Maka orang yang menimbun tersebut harus dipaksa untuk menjualnya, tentunya dengan harga yang bisa dijangkau dan tidak membebani banyak orang.
Dalam kasus hadis di atas, sebenarnya adalah menimbun barang atau makanan pokok. Namun jika kita kontekstualisasikan dengan situasi saat ini, ketika masker dianggap sebagai hal yang penting karena bagian dari pencegahan wabah penyakit, maka masker juga bisa kita kategorikan sebagai bahan pokok, walaupun ia bukan bagian dari makanan.
Oleh karena itu, Rasul memperingatkan lagi dalam hadis lain, bahwa orang yang menimbun barang tidak akan bisa dimaafkan walaupun barang tersebut kemudian disedekahkan.
من احتكر طعاما أربعين يوما ، ثم تصدق به لم يكن له كفارة
“Orang yang menimbun makanan selama empat puluh hari kemudian ia sedekahkan semua barang (yang ditimbun) tersebut, maka tidak bisa menebus kesalahan atau dosanya.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
 من احتكر طعاما أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ منه
“Orang yang melakukan penimbunan barang selama empat puluh malam, maka Allah dan Rasulnya angkat tangan (tidak bertanggung jawab atas perilakunya).” (H.R al-Hakim)
Walaupun kedua hadis terakhir ini masih diragukan kesahihannya karena ada beberapa rawi yang bermasalah, namun hadis tersebut bisa dikuatkan secara substansinya dengan hadis sahih pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Artinya, ancaman terkait penimbunan barang adalah benar adanya.
Ulama berpendapat bahwa larangan seperti ini diberikan oleh Rasulullah SAW karena berpotensi membahayakan banyak orang dan hanya menguntungkan sebagian orang. (AN)
Wallahu a’lam.

Disarikan dari islami.co dengan beberapa penyesuaian