7.16.2009

Menggapai Purnama di Jabal Musa (bag. 2)
-Catatan Perjalanan Seorang Backpacker Nekad-

Pemandangan di Lembah St. Katherine. (Image from www.st-katherine.net)

6 Juli 2009

Aku sempat ingin mencoba berangkat hari itu juga. Barangkali ada rute yang tak langsung ke St. Katherine. Ku urungkan. Pulang? Dengan persiapan dalam ransel seberat sekitar 10 kg di punggung? Bagiku pantang pulang sebelum berjuang, he..he…

Keputusanku untuk hari itu adalah: pergi ke rumah kawan di Bab el-Sha’riya, lebih dekat dengan Terminal Ramses. Sam, nama kawanku itu. Ia tinggal dengan 2 orang kawan lainnya di Bab el-Sha’riya, sebuah kawasan yang padat penduduk namun eksotis, terasa sekali kehidupan masyarakat Mesir. Orang Indonesia jarang yang tinggal di sana.

Sam juga suka melakukan backpacking. Namun ia menolak ketika kuajak mendaki Jabal Musa. Kapok, katanya. Ia pernah mendaki ke sana. Ketika mendaki terasa biasa saja karena malam hari. Namun ketika turun gunung ia merasa enggan. Ternyata ia terjangkit altophobia, sindrom takut ketinggian. Walaupun tampaknya tidak parah.

Malam itu aku menginap di rumah Sam agar esoknya lebih mudah mengejar kendaraan. Di sana aku malah ada waktu menambah logistik dan “alutsista”; 3 biji telor ayam (direbus di rumah Sam), sekaleng sarden tuna, 2 bungkus Indomie, obat sakit perut, sebungkus permen coklat, peluit, travel mug dan tambahan lampus senter kinetik-buat jaga-jaga jika kehabisan baterei cadangan.

7 Juli 2009

Setelah sarapan, pukul 09.50 aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah Sam. Perjalanan dari rumah Sam ke Ramses sekitar 15 menit dengan kendaraan umum. Aku belum pernah ke Mahattah (Terminal) Turgoman. Kepada sopir microbus aku minta diturunkan di sana. Oleh seorang penumpang microbus yang baik hati aku diantar ke Mahattah Turgoman. Kebetulan – kebetulan? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini- dengan izin Allah ia pergi searah menuju Mahattah Turgoman.

Mahattah Turgoman adalah terminal bis yang cukup mewah dan besar. Ruang tunggunya ber-AC. Letaknya di bilangan Ramses dan melayani perjalanan bis antar kota di Mesir, bahkan juga antar negara.

10.30

Aku membeli tiket bis East Delta atas petunjuk para petugas di sana, di loket nomor 2. Harga tiketnya LE 40 (sekitar Rp 72.000,-). Aku berdoa dalam hati, semoga kali ini tidak nyasar lagi.

Tepat ketika masuk ruang tunggu, terdengar pengumuman dari pengeras suara agar para penumpang yang menuju St. Katherine segera bersiap di pintu nomor 3. Belum sempat duduk aku langsung menuju pintu 3. Antara ruang tunggu dan tempat parkir dibatasi oleh dinding kaca tembus pandang. Puluhan bis berjajar menunggu penumpang.

11.00

Bis East Delta yang aku tumpangi bergerak menuju Semenanjung Sinai. Jarang sekali aku merasakan ketepatan waktu ketika naik transportasi di Mesir seperti kali ini. Benar-benar tepat waktu. Memang jarang ada jadwal transportasi yang tepat waktu di Mesir, selain Metro bawah tanah. Alhamdulillah, berarti aku tidak harus menunggu.

Aku mendapat kursi nomor 48. Letaknya paling belakang, sebelah kanan. Beruntung di posisi itu ada sedikit ruang di antara kursi dan jendela. Aku bisa meletakkan ransel 10 kg itu di sana. Tidak harus menaikkanya di bagasi yang terletak di atas kursi penumpang. Jika perlu sesuatu aku tidak harus repot berdiri untuk mengambilnya.

Selama perjalanan ada sekitar 4-5 pemeriksaan tanda identitas penumpang. Tak tahu kenapa dari pemeriksaan sebanyak itu seingatku hanya sekali pasporku dilihat. Kebanyakan hanya melihat sekilas, begitu tahu aku orang asing, sendirian, mereka tersenyum lalu berbalik. Ternyata perjalanan ini tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Ketika dulu melakukan perjalanan dengan 3 orang kawan, sampai harus turun ke pos pemeriksaan karena ada seorang kawan yang “lupa” membawa paspor. Setelah menjelaskan bahwa kami adalah mahasiswa Al-Azhar, akhirnya diperbolehkan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kali ini tidak ada halangan berarti. Hanya cuaca yang agak panas karena AC dalam bis kurang bekerja dengan baik, bahkan sering mati atau dimatikan. Tapi pemandangan selama perjalanan cukup menghibur. Terutama setelah melewati Terowongan Ahmad Hamdi yang memotong Terusan Suez.

Dari jendela bis sebelah kanan, gelombang-gelombang Laut Merah berkejaran ke pantai pasir di sepanjang jalan. Agak jauh dari pantai laut yang membiru kehijau-hijauan menyejukkan mata. Sementara sebelah kiri padang pasir yang dibayangi pegunungan batu. Pegunungan Sinai. Di daerah inilah dulu Bani Israel melarikan diri dari kejaran Firaun. Mereka diberkahi dengan makanan dan minuman oleh Sang Maha Pencipta. Sayang sekali mereka kemudian menyia-nyiakannya. Meremehkan manna wa salwa, rahmat yang tiada tara di gunung pasir gersang. Merendahkan mata air menyegarkan karuniaNya di bebatuan cadas.

Di sebuah persimpangan East Delta membelok ke kiri, meninggalkan pantai berpasir nan elok. Jalan yang berkelok sekarang hanya ditemani oleh pegunungan batu. Beragam struktur dan warnanya, merah, putih, hitam, kuning, jingga.

18.45

Tujuh jam lebih kami mengarungi samudera pasir berbatu. St. Katherine, terminal terakhir telah kami jelang. Turun dari bis aku masih belum tahu apa yang akan aku lakukan dan tempat mana yang akan aku tuju. Sebenarnya aku sudah menyiapkan peta kota kecil di Sinai itu. Peta itu ku dapat dari internet, tapi belum sempat dicetak karena keberangkatan yang terlalu mendadak. Aku pikir nanti bisa dicetak di tempat tujuan, tinggal cari warung internet. Sayang kesempatan itu tidak ada, karena aku tak tahu apakah di St. Katherine ada warnet. Sebuah pelajaran lagi, jangan terlalu berharap ada warnet jika backpacking ke suatu tempat.

Di tengah sedikit kebingungan itu datanglah dua orang Badui menyapa. Mereka adalah orang Badui Jabaleya, penduduk asli wilayah St. Katherine dan sekitarnya. Hanya suku ini yang mempunyai otoritas menjadi pemandu di area itu.

Tidak sekedar menyapa, dengan baik hati mereka juga menawarkan penginapan dan transportasi. Tidak serta merta aku menerima tawaran baik itu. Karena aku masih belum tahu kemana arah tujuanku. Awalnya mereka menyapa dengan bahasa Inggris, lama-lama ketahuan juga kalau aku bisa bahasa ‘ammiyah (bahasa pergaulan Mesir), meski tak terlalu mahir. Sehingga mereka akhirnya tahu kalau aku tinggal lama di Mesir.

Aku bilang sama mereka aku ingin naik gunung. "Kalau begitu kita ke hotel saja, bukankah kamu mendaki gunung nanti jam satu malam? Sekarang dimana kamu beristirahat? Makan? Mari saya antar ke hotel..." kata mereka. Para pendaki Jabal Musa biasanya memang berangkat dari kaki gunung pukul 01.00 dini hari. Sambil menunggu biasanya mereka menginap di hotel atau penginapan di sekitar situ.

Saya meraba saku celana. "Saya tidak ingin ke hotel,"kataku. Karena terlalu lama menjawab tawaran mereka. Akhirnya seorang dari mereka meninggalkan aku dan temannya. Ia tampaknya sopir taksi.

"Kalau begitu bagaimana kalau ke kafetaria, kamu bisa makan atau minum di sana?" Aku termangu, masih ragu. Ia mulai memahami kebingunganku. "Kalau begitu aku antar ke lokasi monasteri saja, di sana juga ada penginapan dan kafe, kamu bisa menunggu sampai waktu mendaki di sana." Ini lebih logis untuk saku dompet tipisku. Monasteri St. Katherine adalah titik awal bagi para pendaki ke Jabal Musa.

"Mau berapa?"

"20 Pound karena kamu sendirian."

Ku coba menawar,"Kalau 15 Pound gimana?"

"Wah nggak bisa, 20 Pound," katanya mantap.

"Ayo lah!" Ku pikir untuk orang yang masih meraba situasi tidak terlalu mahal. Masih bisa terjangkau kantong. Kami menuju sebuah kendaraan - semacam angkot kalau di Indonesia- berwarna putih. Tampak masih bagus dan terawat. Penumpangnya hanya aku dan seorang kawan pengemudi itu, orang Mesir. Tampaknya ia penduduk setempat.

Sebetulnya tidak terlalu jauh jarak antara terminal dengan Monasteri St. Katherine – pendudul lokal menyebutnya Deir Sant Katrin. Sekitar 10 menit sampailah kami di Deir. Begitu turun ku ulurkan selembar 50 Pound pada pemilik kendaraan itu. "Tak ada uang kecil ya?" tanyanya. Aku menggeleng. Ia lalu mengajakku ke sebuah kafetaria untuk menukar uang. Sekalian saja aku pesan teh manis. Dua gelas. Kenapa dua gelas? Ya, satu gelas lagi untuk pemilik kendaraan yang mengantarku tadi. Karena dia ramah dan tidak berusaha memberi harga transportasi semahal mungkin. Aku pikir harga yang ia berikan cocok dengan jarak yang aku tempuh dari terminal ke Deir. Meski sedikit lebih mahal tapi masuk akal, ini daerah wisata. Yang kedua, segelas teh itu adalah diplomasi keakraban dengan kearifan lokal. Hasilnya, sebelum pergi ia mengenalkan aku dengan pemilik kafetaria dan memberikan kartu namanya. "Kalau perlu apa-apa tinggal telpon saja, namaku Husein."

Aku duduk di sebuah gazebo kecil di luar kafe. Ammu (Paman) Abduh, pemilik kafetaria itu membawa dua gelas the panas. Satu lagi dalam gelas plastik untuk Husein. Ia langsung mengambil teh panas itu dan pamit pergi. Orang Mesir memang hebat, bisa membawa teh panas dalam gelas –ya panas, bukan hangat- sambil mengemudi mobil atau bis, tanpa tumpah.

Ammu Abduh mengajakku masuk ke ruang dalam. Sebuah ruangan yang cukup rapi dengan interior khas Arab. Ruang seluas 7 x 5 meter itu mempunyai atap yang tinggi, dindingnya ditutupi dengan tenunan warna-warni. Ada sofa memanjang menempel di sekeliling dindingnya. Tata ruang seperti ini biasanya ada di tenda-tenda peristirahatan orang Arab Badui. Beberapa meja kecil menghiasi ruangan. Di pojok, sebuah tempat lebih tinggi digunakan untuk menyiapkan minuman.

“Siapa namamu?” suara Ammu Abduh menghentikanku dari observasi visual pada tempat asing itu. Aku sebutkan namaku.

“Nama yang bagus katanya, kamu belajar di Al-Azhar?” Aku mengangguk. Abduh tersenyum. Ia sudah diberitahu Husein bahwa aku seorang Muslim. Tampaknya ia senang jika ada pelancong Muslim singgah di tempatnya. Ia lalu bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu ada beberapa pelajar Al-Azhar asal Pakistan yang mampir di tempatnya. “Mereka baik sekali, muhtarimiin,” katanya.

“Sekarang kalau mau istirahat, mau tidur atau mau apa saja silahkan. Sesukamu. Kalau mau ke kamar mandi ada di sebelah sana.” Sambil menunjuk lurus ke sebuah bangunan kira-kira 30 meter dari tempat itu. Aku berterima kasih. Lalu ia keluar sambil menata meja dan kursi yang sebagian sudah tertata di luar.

Puji Tuhan, alhamdulillah, bisa cepat akrab dengan warga lokal. Tampaknya memang penduduk local di St. Katherine ini lebih ramah dari orang Kairo pada umumnya. Tentu saja tawaran ramah itu seakan oase bagi musafir di negeri asing. Tampaknya kearifan lokal bangsa Arab masih membekas dalam kehidupan masyarakat Badui di sini; memuliakan tamu.

Tapi, tidur? Untuk apa jauh-jauh datang dari Kairo kalau untuk tidur? Bagaimana mungkin aku melewatkan keindahan lembah St. Katherine kala senja? Dengan rasa terima kasih pada Ammu Abduh, aku pindahkan the panasku ke sebuah meja di luar. Ku jatuhkan tubuhku pada sebuah kursi.

“Hawanya segar sekali Ammu Abduh..” kataku pada lelaki pemilik kafe itu, ia tersenyum melihatku.

Senjakala di St. Katherine.

19.24

Udara di sini benar-benar segar. Suasananya tenang, jauh dari hidruk pikuk Kairo yang kadang “menyesatkan” pikiran. Sudah sangat lama aku tak mereguk ketentraman seperti ini. Aku duduk sendiri di kafe Ammu Abduh. Belum ada satu pun pelancong yang datang. Tenang sekali. Angin sepoi-sepoi membelai pundak dan leherku.

Allah, sungguh indah duniaMu. Bebukitan batu yang merona jingga di temaram senja mengelilingi lembah kecil di semenanjung Sinai itu. Perlahan matahari menuju peraduan, meninggalkanku untuk menemuinya esok fajar di puncak Jabal Musa. Kulantunkan zikir senja….Amsaina wa amsal mulku lillah…..

20.09

Maghrib menjelang, udara terasa lebih dingin. Terasa sekali cuaca cepat berganti dari senja yang hangat menjadi malam yang gelap dan dingin. Tapi aku rasakan dinginnya masih dapat aku tahan, belum saatnya mengeluarkan jaket.

Di lembah yang tenang dan agak jauh dari pemukiman itu suara azan hanya sayup-sayup lirih dari kejauhan, hampir tak terdengar. Matahari baru saja tenggelam meninggalkan warna merah dan jingga di langit barat. Ammu Abduh segera mengajakku untuk sholat Maghrib, ia menuju tempat wudhu di samping mushola.

Aku bangkit dari kursi. Beberapa saat ketika sampai di lembah itu aku sempat mengambil wudhu. Aku tinggalkan ranselku di kursi kafe. Naluriku mengatakan aman untuk meninggalkannya, melihat keramahan penduduk lokal. Tapi jangan coba sekali-kali melakukannya di Kairo bahkan ketika di masjid.

Langkah kakiku menuju sebuah mushola sederhana di samping tempat wudhu. Tak ada bangunan apa pun. Hanya tikar yang dikelilingi pagar kayu membentuk persegi. Di setiap sudutnya ada pepohonan yang daunnya menjadi atap mushola itu di siang hari. Sholat bisa di mana saja.

Dua orang polisi berbaju hitam-hitam melepas sepatu, memasuki area mushola. Aku ucapkan salam pada mereka. Iqomah dikumandangkan, kami sholat maghrib berjamaah. Seorang di antara mereka yang tampaknya seorang perwira, menjadi imam. Salut juga, bacaan dan hafalan Qur’annya lumayan bagus untuk seorang polisi. Sebetulnya memang tidak ada yang aneh jika ada militer atau polisi muslim yang pandai dan hafal Qur’an.

Selesai sholat aku kembali ke kursi semula. Udara makin dingin. Aku teruskan membaca tulisan Martyn Forrester tentang bagaimana bertahan hidup di gurun pasir. Biar hafal sekalian persiapan mental untuk segala situasi. Aku begitu menikmatinya, membaca buku di sebuah lembah yang tenang.

Tak berapa lama datang seorang laki-laki ke kafe Ammu Abduh. Orang Mesir, pikirku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk di kursi sebelah sambil berucap salam menyapaku. Aku perhatikan ia sebenarnya sudah sampai di lembah itu menjelang Maghrib, sendirian. Meletakkan ranselnya di kursi lalu menuju pos keamanan.

E zayyak (apa kabar)?” kataku berbasa basi memulai pembicaraan. Kami lalu berkenalan, namanya Ahmad El-Tubqi. Usianya 33 tahun. Aku mengira ia adalah seorang pemandu wisata yang sedang menunggu para pelancong untuk mendaki Jabal Musa karena ia datang sendirian saja. Kejutan pertama, ternyata orang Mesir yang sangat ramah ini juga seorang backpacker!

Selama ini aku jarang sekali menemukan orang Mesir yang melakukan backpack. Jika melancong, kebanyakan mereka pergi bersama rombongan atau keluarga. Dari situ kami saling bercerita. Ternyata ia telah sering mendaki Jabal Musa. Aku lalu mengundangnya bergabung ke mejaku.

Ahmad berasal dari Kairo, tepatnya di Kasr Nile St., Down Town. Dia ketika berangkat ia telah melihatku. Kejutan kedua, sebenarnya kami berangkat dalam satu bis dari Kairo. Lebih mudah baginya untuk mengetahuiku karena dalam East Delta yang kami tumpangi karena hanya aku orang asing di sana. Sedangkan aku cukup susah mengingat jika Ahmad berada di antara puluhan penumpang yang semuanya orang Mesir.

Ia juga melihatku ketika aku bercakap-cakap dengan dua orang Badui di terminal. Kukatakan mereka menawarkan jasa kendaraan. Ahmad lalu tersenyum ketika aku beritahu bahwa ongkos dari terminal ke Deir 20 Pound. Perkiraanku jaraknya sekitar 5-6 km. “Aku tadi jalan kaki, makanya sampai ke sini belakangan,” kata Ahmad. Aku menimpali,”Lain kali kalau aku ke sini lagi, aku mau jalan kaki saja.” Seakan menyesal, memang, tapi sedikit. Lalu kami tertawa.

21.30

Isya menjelang. Abduh mengajakku sholat. Aku bilang jika sudah aku jama’ dengan Maghrib tadi. Aku meneruskan obrolan dengan Ahmad. Penasaran kenapa ia datang sendirian. Ia bilang ingin melepaskan kepenatan dari Kairo yang padat. Ia lalu menawarkanku untuk mendaki berdua. Tawaran yang tentu saja tak mungkin ku lewatkan. Aku baru pertama ke sini.

Selesai sholat Isya’ beberapa polisi bertubuh kekar datang ke kafe Ammu Abduh. Mereka membawa seperangkat permainan semacam domino namun bukan berbentuk kartu melainkan batangan plastik keras. Mereka menyebutnya, dhamnah.

Para polisi itu lalu menggelar permainan di meja sebelah kami. Tampaknya permainan ini bagi mereka adalah untuk membunuh kebosanan di antara tugas di lembah sunyi ini. Sambil mengobrol tentang berbagai hal. Seperti halnya di kafe-kafe di Kairo.

Tiba-tiba Ammu Abduh datang dengan dua gelas teh panas di tangannya. Kaget, segelas di antaranya diletakkan di depanku padahal aku tak pesan apapun. “Minumlah!” katanya ramah. Masih setengah kaget aku lalu berterima kasih. Aku tersentuh dengan keramahan mereka. Di tempat wisata seperti ini kearifan lokal masih terjaga. Sudah jamak diketahui, biasanya para penjual di tempat wisata menilai segala sesuatu dengan materi (baca: uang). Tapi di sini tidak. Jadilah, segelas teh panas di hadapanku menghangatkan tubuhku di dinginnya Lembah St. Katherine. Keramahan masyarakat di sana menghangatkan hatiku.

Ammu Abduh lalu bergabung dengan para polisi di sebelah. Tak lupa mengajakku dan Ahmad bergabung. Kami tersenyum saja. Walau begitu sesekali kami saling bercakap. Ammu Abduh mengenalkanku pada para polisi itu. Mereka tahu bahwa aku dan Ahmad hendak mendaki Jabal Musa. Jadilah obrolan kami dengan para polisi itu tentang pendakian.

Ahmad mencoba bertanya pada salah satu petugas itu tentang pemandu. Polisi yang aku lupa namanya itu bilang bahwa tiap orang atau kelompok yang ingin mendaki harus menyewa pemandu. Ahmad lalu berseloroh bahwa ia sudah sering mendaki ke sana dan tanpa pemandu. Polisi itu bersikukuh bahwa peraturannya memang begitu. Selain itu juga dimaksudkan untuk memberi penghasilan pada penduduk lokal, orang-orang Badui Jabaleya. Kami lalu membawa kursi ke dekat mereka, supaya lebih akrab.

“Wah tapi 80 Pound untuk pemandu itu mahal sekali…,” kata Ahmad. Aku faham ia mencoba agar bisa berangkat tanpa pemandu. Toh ia sudah sering ke Jabal Musa.

“85 Pound,” kata petugas itu membetulkan. Ahmad tersenyum, “Kan cuma beda 5 Pound?” Aku ikut tersenyum.

Ada jalur pendakiannya kan?” Ahmad mencoba berdiplomasi.

“Beberapa bulan yang lalu ada beberapa turis dari Rusia terpisah dari rombongan pendaki. Lalu mereka tersesat di gunung dan ditemukan tewas beberapa hari kemudian. Itu terjadi siang hari…” cerita Pak Polisi, seakan memperingatkan. Seram juga ceritanya, pikirku.

Ammu Abduh lalu memberi saran. “Kalian berangkat dengan rombongan turis saja nanti jam satu dini hari!” Kami terdiam sebentar. Lalu ada yang mulai mengalihkan pembicaraan. Mereka menanyai asalku, studiku di Al-Azhar dan tempat tinggalku selama di Mesir dan sebagainya.

Ammu Abduh lalu mengajakku bermain dhamnah dengan mereka. Aku tertawa saja. “Aku tidak bisa main,“ kataku. “Kalian tampaknya sudah sering bermain permainan ini.”

Mereka tertawa, “Bukan sering lagi, 24 jam!” Aku juga tertawa mendengarnya. Kami cepat akrab, tampaknya mereka senang dengan keberadaanku. Langkah awal yang bagus, pikirku. Ahmad masih ngobrol dengan petugas tadi. Tampaknya ia masih berdiplomasi tentang pemandu.

“Kalian tadi datang cuma berdua?” Tanya Pak Polisi pada Ahmad.

“Sebenarnya aku datang sendirian, tapi kami berada satu bis, dan baru kenal dengan dia di sini.”

Pak Polisi berkumis itu menoleh padaku. Sambil tersenyum aku bilang, ”sekarang aku tidak sendirian, ada Ahmad.” Pak Polisi terkekeh mendengar cerita kami.

“Jadi kalian mau mendaki jam berapa?” Tanya Pak Polisi. Gayung kami mulai bersambut.

“Kalau tidak ketemu kawan dari Indonesia ini mungkin aku mau berangkat jam-jam segini. Dia baru pertama ke sini, jadi kami mau mendaki bersama saja. Mungkin kami bisa gabung rombongan turis nanti malam.”

“Ya sudah, sekarang kalian berdua ikut ke pos, coba aku bicarakan sama komandan.”

Kami berbinar, tanpa pikir panjang aku sambar ranselku. Aku keluarkan lampu senter. Ammu Abduh masih khawatir,”Kalian yakin? Apa tidak sebaiknya gabung sama rombongan turis saja?”

Insya Allah kami akan baik-baik saja,” kataku mantap.

“Baiklah, hati-hati semoga selamat, ma’assalamah,” Ammu Abduh melepas kami.

Dari sini aku mulai belajar bagaimana berdiplomasi dengan orang Mesir. Sabar, pelan-pelan dan ambil hatinya.


(bersambung...)

9 Comments:

Anonymous Anonymous said...

fotone keren mas..
suwe2 moco, healah dowone... tibake pancen cerito toh... :D

Wednesday, December 09, 2009 5:57:00 pm  
Blogger Faisal Zulkarnaen said...

Wah Tas, foto iku dudu hasil jepretanku, nyilih thok..

Thursday, December 10, 2009 4:06:00 pm  
Anonymous Anonymous said...

walah tibake kebiasaan elek-ku yo enek sing ngembari, tukang comot potone wong liyo, hehe.. :D

salahe dwe di-share nang inet, dadi nek dicomot uwong yo jek halal, benul gak.. benul gak ?? hehe :D

Thursday, December 10, 2009 5:38:00 pm  
Blogger Faisal Zulkarnaen said...

Sak jane ambek seng duwe (www.st-katherine.net) oleh seh Tas, asal menyebutkan sumbernya, deloken keterangan cilik nang ngisore foto. Nek sempet buka'en, fotone apik2.

Thursday, December 10, 2009 5:56:00 pm  
Anonymous Anonymous said...

wuihh ... sampai sekarang hanya bisa berangan-angan pergi ke sana :D

keren mas ceritane ... nunggu part 3 muncul :D

Wednesday, March 03, 2010 4:07:00 am  
Blogger hasido said...

mana sambungannya mas Faisal...? :-D

udah lebih 3 bulanan nga diupdate, ditunggu tulisannya inih...
^_^

Saturday, March 13, 2010 5:27:00 am  
Blogger Grosir Bebenito said...

Waah...keren kancaku iki...
Wes tekan ngendi2 rupane..
Lumayan moco kisahmu sal, duowo...hehe

Wednesday, July 28, 2010 9:57:00 am  
Blogger Grosir Bebenito said...

Hehe...yo luwih keren blogmu iki...
Perjalanan yang menarik...
;)

Thursday, July 29, 2010 6:22:00 pm  
Blogger Toyin O. said...

Pretty photo.

http://youcanfacetodaybecausehelives.blogspot.com

Friday, October 22, 2010 1:59:00 am  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home