9.04.2011

Wawancara dengan Prof. Dr. Syaikh Muhammad Syalaby dari Lembaga Fatwa Mesir tentang penentuan awal bulan Hijriah


Berikut salah satu petikan wawancara Kru Jurnal OASE bersama Salah Satu Tokoh Ulama Mesir, Ketua Para Mufti di Lembaga Fatwa Darul Ifta AlMisriyah, yang telah di terbitkan dalam Jurnal OASE – Cairo edisi XVII, 2008.

Dalam Masalah Penentuan awal Bulan Hijriyah yang selalu menuai konflik dan perpecahan umat islam, khususnya pada bulan-bulan besar. Kru Oase Pada tanggal 26 Maret 2008 dan tanggal 3 April 2008 telah bersilaturahim pada lembaga Fatwa Mesir Dar Ifta’ dan berhasil menemuai Rais Amin Fatawa Prof. Dr. SYaikh Muhammad Syalaby bagian Lajnah yang menangani secara khusus tentang penentuan awal bulan hijriyah. Berikut hasil petikan wawancara kru oase dengan beliau;

Oase : Bagaimana mekanisme yang dipakai di Mesir khususnya?
DI : Metode utama yang digunakan di Mesir adalah metode Rukyat, jika tidak terlihat hilal barulah memakai metode hisab. 

Oase : Bagaimana detail pelaksanaan rukyat di Mesir? Apakah setiap orang boleh bersaksi?
DI : Tidak boleh setiap orang melakukan persaksian, tapi mekanisme rukyat yang berlaku di Mesir, dilakukan oleh sebuah panitia khusus yang terdiri dari 6 unsur, dan setiap unsur terdiri dari beberapa orang. Ada unsur dari keamanan Nasional, unsur pemerintah lokal, unsur ahli iptek, unsur ulama dll. Jika satu unsur saja telah melihat hilal maka dianggap sah karena sudah terdiri dari beberapa orang. Jika semua unsur tersebut tidak melihatnya maka dianggap tidak terlihat. Jika demikian barulah beralih kepada metode hisab, apa yang dikatakan oleh hisab itulah yang menjadi patokan.

Oase : Secara administratif bagaimana mekanisme penentuan awal bulan hijriyah di Mesir, siapa yang berhak mengumumkan keputusan? Siapa yang menentukan panitia rukyat (pengamatan) dan lain-lain?
DI : Mekanisme penentuan awal bulan Hijriyah di Mesir, khususnya bulan Ramadhan dan Syawal adalah memakai metode rukyat hilal. Rukyat tersebut dilakukan oleh sebuah panitia khusus. panitia ini dibentuk oleh Darul Ifta (Lembaga fatwa) sendiri, dan sistem ini sudah lama di pakai oleh negara mesir. Panitia khusus yang terdiri atas 6 unsur tersebut disebar ke seluruh penjuru Mesir. Sedangkan mekanismenya adalah sangat sederhana, jika telah terlihat Hilal, maka itu yang dijadikan patokan. Jika tidak, maka merujuk pada hisab falaki. Inilah yang menjadi kesepakatan bersama sebagaimana yang tertuang dalam Muktamar Jedah pada tahun 90 an. 

Oase : Jika Hisab telah mengatakan adanya hilal misalnya, mengapa harus dilakukan rukyat? Mengapa tidak langsung berpedoman pada hisab saja?
DI : Karena metode sebenarnya yang dapat dijadikan patokan adalah Rukyat, bukannya hisab. Jika rukyat tidak berhasil, barulah beralih ke hisab. Oleh sebab itu kita katakan bahwa hisab adalah Yu`khodz fi an Nafyi La fi al Isbat (hisab hanya boleh dipakai jika tidak terlihat hilal). Jika hisab mengatakan misalnya, bahwa awal bulan baru adalah besok pagi, sedangkan rukyat belum dilakukan maka kita tidak menerima hisab tersebut. Harus melalui rukyat terlebih dahulu.

Oase : Imam Subki pernah melontarkan pendapat, bahwa jika seseorang telah mengaku melihat hilal, tapi secara hisab, hal tersebut belum memungkinkan, maka yang dipakai pedoman adalah hisab dan rukyat tersebut tidak dianggap. Bagaimana menurut Duktur mengenai hal ini?
DI : Tidak, hal tersebut tidak boleh, karena apa yang terkandung dalam hadis sudahlah jelas, "puasalah karena melihat hilal dan berbukalah (hari raya) karena melihatnya". Walaupun secara hisab hilal dikatakan tidak mungkin terlihat, tapi secara rukyat, hilal telah terlihat, baik rukyat tersebut menggunakan mata telanjang ataupun memakai peralatan lain semisal teleskop dan sebagainya, lalu telah benar-benar diteliti bahwa yang dilihatnya adalah hilal, bukan benda angkasa lain, semacam bintang atau mars, telah diteliti juga mengenai keadilan (kapabelitas) yang melihat, maka yang menjadi patokan adalah rukyat, dan wajib bagi kita untuk menerimanya.

Oase : Jadi harus diteliti dahulu bahwa yang terlihat adalah benar-benar hilal?
DI : Ya, harus begitu. Ini supaya tidak terjadi kekeliruan dalam rukyat. Jangan sampai benda angkasa lain, semacam planet mars atau bintang, dikira hilal. Kekeliruan ini pernah terjadi dua tahun yang lalu di sebuah negara. Ada saksi yang mengatakan telah melihat Hilal, lalu berpuasalah negara tersebut pada keesokan harinya, yaitu hari sabtu. Akan tetapi setelah diteliti secara detail dan berdasarkan pengakuan saksi sendiri, bahwa ternyata yang dilihatnya bukanlah hilal, tapi benda angkasa lain. Lalu secara resmi negara tersebut mengumumkan bahwa hari puasa yang sebenarnya adalah jatuh pada hari berikutnya yaitu hari ahad. 

Oase : Bagaimana menurut Duktur mengenai sebuah pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari rukyat dalam hadis adalah rukyat bil Ilmi atau dapat dikatakan hisab, dan bukan rukyat pengamatan?
DI : Makna asli (haqiqi/denotatif) dari rukyat adalah melihat dengan mata telanjang. Sedangkan rukyat bil ilmi adalah makna majazi (kiasan) darinya. Jika disebut rukyat begitu saja (muthlaq) maka maksudnya adalah makna aslinya dan bukan makna majazinya (konotatif/kiasan). Dalam bahasa Arab sendiri terdapat kaidah, sebuah lafal harus dimaknai dengan makna aslinya selama masih dimungkinkan, dan tidak boleh berpindah kepada makna kiasan, jikalau makna asli tersebut masih memungkinkan. Dan dalam kasus ini tidak ada sesuatu pun yang menghalangi untuk memaknai rukyat secara makna asli. Rukyat yang dipahami semua orang adalah melihat dengan mata, karena itu memang makna aslinya, sedangkan rukyat bil ilmi adalah rukyat memakai akal bukan memakai mata, dan ini disebut makna majazi (kiasan) atas rukyat. Oleh sebab itu rukyat harus dipahami bahwa maksudnya adalah melihat dengan mata, jangan dipahami rukyat bil ilmi. Ini sebagaimana kata 'Ain yang makna aslinya adalah mata orang atau mata binatang. Walaupun 'Ain ini bisa juga berarti mata-mata (spionase) tapi itu adalah makna kiasan. Jika disebut 'Ain begitu saja (mutlaq) maka yang akan dipahami adalah makna aslinya yaitu mata. 

Oase : Jadi pendapat yang mengatakan bahwa rukyat adalah rukyat bil ilmi adalah salah?
DI : Yang berpendapat demikian dapat dikatakan menyelisihi Syariat. Karena secara syar'i telah jelas, bahwa yang dimaksud rukyat adalah melihat dengan mata kepala. Ini dengan dalil hadis yang mengatakan "jika tertutup bagimu (Ghumma alaikum) maka lengkapkanlah bilangan bulan Syaban menjadi 30 hari". Tertutup di sini maksudnya adalah jika penglihatan mata terhalang, baik karena awan, mendung atau memang belum terlihat, dan ini hanya terjadi jika melakukan rukyat dengan mata kepala, bukannya dengan hisab. Karena kalau dilakukan dengan hisab maka tidak mungkin tertutup (Ghumma). Begitu juga hadis-hadis lain yang senada mengisyaratkan bahwa yang dimaksud rukyat adalah melihat dengan mata kepala bukannya dengan akal. Jika rukyat dalam hadis tersebut dimaknai dengan rukyat bil Ilmi maka yang menjadi pedoman adalah hisab karena hisablah yang merupakan rukyat dengan akal. Jika demikian maka hisab dipakai fil isbat wan Nafyi (hisab dipakai jika terlihat hilal ataupun tidak). Sedangkan apa yang menjadi kesepakatan Jedah tidaklah demikian. Muktamar Jedah yang berlangsung pada tahun 90 an yang dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka islam memutuskan bahwa hisab falaki hanya dipakai fi an Nafyi duna al Isbat (hisab hanya dipakai jika tidak terlihat hilal).

Oase : Bagaimana pendapat Duktur jika Hisab dipakai fi Halat an Nafyi wa al Isbat (Hisab bisa dipakai secara umum)?
DI : Ini merupakan pendapat yang menyelesihi semua ulama fikih, juga menyelisihi hasil keputusan muktamar Jedah yang notabenenya di hadiri oleh semua ulama yang berkompeten di bidang tersebut. 

Oase : Bagaimana jika dalam suatu negara terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriyah yang disebabkan perbedaan metode yang dipakai, sebagaimana yang terjadi di negara kami, Indonesia. 
DI : Bagaimanapun yang dijadikan patokan adalah keputusan Waliyul Amri (pemerintah) karena dialah yang memiliki otoritas penuh untuk menyelesaikan setiap pertikaian. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan bahwa Hukmu al Hakim Yarfa' al Hilaf (keputusan Hakim / pemerintah adalah yang bisa menyelesaikan perbedaan). Oleh sebab itu jika pemerintah telah mengambil keputusan, maka itulah yang harus ditaati. 

Oase : Ada fenomena menarik yang terjadi di Indonesia. Indonesia ada beberapa ormas yang mempunyai metode tersendiri dalam penentuan bulan Hijriyah, terutama bulan puasa dan hari raya. Ormas-ormas tersebut memiliki anggota yang sangat loyal. Nah, seringkali terjadi perbedaan mengenai penentuan tersebut yang disebabkan perbedaan metode yang dipakai. Bagaimana menurut Duktur mengenai fenomena tersebut?
DI : Memang Negara Kalian Paling Aneh Sendiri! Yang memberi keputusan harusnya pemerintah.

Oase : Jika pemerintah tidak begitu kuat di mata masyarakat, dan kebanyakan masyarakat lebih percaya untuk mengikuti ormasnya?
DI : Hal ini tidak boleh terjadi, karena akan menyebabkan kekacauan. Akan terjadi perbedaan dalam masyarakat, si A puasa hari Rabo, si B puasa hari Kamis misalnya, dan seterusnya. Ini akan menimbulkan keresahan. Setiap teritorial yang memiliki wilayah hukum tersendiri, yang memiliki waliyul amri (pemerintah) tersendiri haruslah ditaati oleh setiap masyarakat. Dan pemerintah tersebutlah yang harus menyelesaikan setiap perbedaan yang ada dalam masyarakatnya. Setiap pemerintah harus bisa memersatukan rakyatnya, rakyat jangan dibiarkan berbeda karena akan menjurus kepada pertikaian. 

Oase : Bagaimana pandangan Duktur mengenai banyaknya ormas di Indonesia yang seringkali berbeda satu sama lain.
DI : Ormas-ormas tersebut perlu pengaturan dan penataan. Tanpa penataan yang baik, hanya akan mengantarkan kepada pertikaian. Perbedaan-perbedaan antar golongan seringkali berhubungan dengan kepentingan dan akhirnya terjadilah pertikaian yang tidak diinginkan, semuanya akhirnya hanya berpedoman atas kepentingannya masing-masing, semuanya akhirnya tidak memakai akal sehat dalam berpikir sehingga terjadilah kekacauan. Yang paling baik adalah bersatu, jadilah sebuah kekuatan sosial yang kokoh yang selalu berpegang teguh kepada ajaran agama. 

Oase : Jikalau terjadi perbedaan antara ormas-ormas tersebut, maka apa yang harus dilakukan?
DI : Jika terjadi perbedaan, maka pemerintah-lah yang harus memilih dari perbedaan-perbedaan tersebut untuk dijadikan sebuah keputusan, karena keputusan pemerintah lah yang dapat menghilangkan perbedaan (hukm al Hakim Yarfa' al Hilaf). Sebagaimana yang digariskan dalam ilmu fikih, jikalau pemerintah telah menetapkan sebuah keputusan, maka itulah yang menjadi patokan, semuanya harus tunduk dan patuh.

Oase : Jadi keputusan pemerintah bersifat mengikat? Jika ada yang keluar darinya, bagaimana hukumnya?
DI : Jika pemerintah telah memutuskan sesuatu dan ada yang melanggarnya, maka yang melanggar berdosa.

Oase : Bagaimana hukum para pengikut ormas?
DI : Jika pendapat ormas berbeda dengan keputusan pemerintah, maka bagi pengikut ormas harus meninggalkan pendapat ormasnya dan mengikuti keputusan pemerintah. Jika pengikut tadi bersikeras untuk mengikuti pendapat ormasnya, maka mereka berdosa. Karena ini bisa diserupakan dengan para pembuat makar (bughot) yang keluar dari Imam. Allah telah berfirman: " Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali ". (QS. An Nisa : 115). Maka setiap penduduk suatu negara harus menaati pemerintahnya.

Oase : Apakah di negara Mesir sendiri pernah terjadi perbedaan sebagaimana yang terjadi di Indonesia?
DI : Tidak pernah sama sekali. Semuanya tunduk kepada pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Darul Ifta. Hampir pernah terjadi perbedaan, salah satu jama'ah islam yang ada di Mesir mengatakan, kami mengikuti Negara Saudi. Lalu kami katakan kepada mereka, kamu telah melakukan pelanggaran, karena dalam suatu negara telah memiliki waliyul amrinya sendiri yang wajib ditaati.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home