Kemarin
Kemarin, sepulang dari kampus saya jalan-jalan ke Pusat Belanja Khan el-Khalili - Husein, sendirian. Hati saya agak kesal atau tepatnya sesal karena berangkat tidak tepat waktu ke kampus, pukul 13.00 baru berangkat. Sampai di kampus pukul 14.15, terang saja terlambat, loket administrasi tutupnya pukul 14.00 bahkan kalo pegawainya malas bisa lebih cepat tutup. Dan saya gagal mendapatkan tashdiq (surat keterangan kuliah) yang sangat saya butuhkan esok harinya. Masalahnya keterlambatan saya bukan karena malas, tapi ada sesuatu yang lain yang menghambat saya untuk berangkat tepat waktu. Masalah itu sengaja tidak saya tuliskan di sini agar tulisan ini tidak bertele-tele. Yang jelas saya agak suntuk, kemarin.
Agar kesuntukan saya juga tidak bertele-tele, akhirnya saya langkahkan kaki ke Husein. Sedikit melupakan kekesalan sambil mencari kartu ucapan buat dikirim ke kawan di Indonesia. Rupanya hari itu jalanan di pasar Khan el-Khalili sedang dibongkar untu memperbaiki pipa air. Padahal pengunjung juga ramai, jadi saya harus jalan pelan-pelan, antri jalan dengan pengunjung lain yang juga banyak bule.
Setelah beberapa saat celingukan, saya belum juga melihat orang jual kartu ucapan. Mungkin agak ke masuk ke lorong-lorong yang lebih sempit, pikir saya. Saya teringat sekali kalau mau beli kartu ucapan pusatnya adalah di bawah jembatan Tol dekat Kantor Pos Pusat Mesir di Attaba. Di sana banyak sekali kartu pos, kartu ucapan, papyrus sampai perangko bekas bagi yang senang filateli, hobi yang sudah lama saya terlantarkan.
Akhirnya saya sampai di perempatan deket penjual kaos, dari situ saya langkahkan kaki kearah kanan. Baru beberapa langkah, mata saya langsung terpikat sama pajangan barang antik (baca: bekas) yang umurnya sudah uzur. Hehe..kayak manusia aja uzur. Ada sebagian barang di jajarkan di depan toko, namanya lupa. Mulai dari pedang, koin, mesin ketik, kamera zaman butut, sampai barang-barang yang saya tidak tahu namanya. Di dekat saya seorang Bapak melirik saya dengan wajah dingin. Lalu mengucapkan sesuatu dengan Bahasa Inggris yang kurang jelas saya tangkap. Saya diam menatapnya sesaat. Lalu dia bilang,"Aiz ee? (Mau apa?)" dengan bahasa Mesir, karena rupanya dia tahu saya mahasiswa Al-Azhar. Masih dengan wajah dingin. Lalu saya lempar senyum. Dia tetap dingin sambil asyik makan sandwich. Rupanya dia pemilik toko barang antik itu.
Saya melihat di dalam toko lebih banyak kamera bekas dan barang-barang antik lainnya. Saya masuk, ingin melihat-lihat sambil melupakan sesal. Barangkali juga ada barang yang bisa ditawar (hehe sok mau beli). Di dalam ada seorang anak muda sedang menelepon, mungkin pekerjanya. Sekitar 3 menit melihat-lihat, ada 2 orang bule masuk. Anak muda tadi tiba-tiba bertanya pada saya,"Bitdhowwar 'ala hagah mu'ayyanah?" (Kamu sedang mencari barang tertentu?). Saya jawab,"La, ana asyuf bas, induku hagat kuwayyisiin?" (Nggak kok, saya hanya melihat-lihat saja, kalian punya barang bagus-bagus?).
Pria pemilik toko yang sedang berdiri di luar lalu memanggilku. "Ta'al!"(Kemarilah!). Lalu saya keluar, pikir saya biasanya kalo sudah begitu kita akan ditunjukkan barang yang menarik. Lalu,"Imsyi!" (Pergi!) katanya. "Heh!" saya memiringkan kepala. Jangan-jangan saya salah dengar,"Aiwa, imsyi keda!" (Ya, pergi saja!). Benar, tidak salah dengar, saya diusir!
Tiba-tiba saja, sebagai manusia yang sangat biasa tentu saja saya kaget, campur kesal, campur marah, sakit hati dan se. Tiba-tiba saja, hilang sudah rasa sesal karena tidak mendapatkan tashdiq di kampus. Pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa?
Tapi itu tidak lama, beberapa detik kemudian saya sudah bisa menguasai diri. Tak ada gunanya melayani orang ini, tambah kesal nantinya. Saya hanya menatapnya sesaat, ia dengan cuek menghabiskan sandwichnya, tak acuh. Lalu dengan tenang saya tinggalkan orang itu. Saya tak ada urusan dengannya. Biar saja ia menghabiskan makan siangnya.
Saya arahkan langkah saya makin masuk lorong itu. Entahlah, waktu itu saya hanya bertanya dalam hati, kenapa saya diusir? Ah, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya. Saya tidak mau menebak-nebak kenapa saya diusir, biar saja. Dalam hati saya berdo'a, semoga orang itu dibuka hatinya oleh Allah. Dan semoga tidak ada lagi korban pengusiran setelah saya.
Lorong yang saya lewati sore itu banyak yang tutup. Saya sering lewat lorong itu jika jalan-jalan ke Khan el-Khalili. Karena di situ ada beberapa penjual barang antik, mulai dari yang punya etalase seperti toko tadi sampai di ujung gang sempit yang banyak debu. Tak lama saya belok ke kanan lagi. Di sana ada beberapa penjual barang-barang antik. Saya melihat-lihat lagi. Belum ada barang yang menarik saya. Ada beberapa kamera bekas, koin-koin dan lainnya, tapi berserakan begitu saja di pinggiran gang yang kiri-kanannya tembok kusam.
Akhirnya saya sampai di penjual paling ujung. Saya didatangi seorang anak muda. "Andunisia?" tanyanya. "Na'am, ana min Andunisia. E zaiyyak?" (Ya, saya dari Indonesia. Apa kabar?) saya berbasa-basi. "Kwaiyyis." (Baik) katanya. "Syuf gowwah fil mahal!" (Silahkan lihat di dalam juga ada!") ia menawarkan. "Terima kasih." Lalu saya masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak terlalu lebar, pintunya berbentuk setengah lingkaran seperti mihrab, warnanya hitam kusam. Daun pintunya dari kayu, juga kusam. Di dalam saya menemukan banyak barang dipajang.
Saya ngobrol banyak dengannya. Dia orangnya cukup ramah. Orang Azhar juga. Fakultas Bahasa katanya. Namanya Mokhtar Osman, ibunya orang Mesir dan ayahnya asli Sierra Leone. Ia dengan sabar menungguiku yang sekedar melihat-lihat, dan menjawab pertanyaan yang aku ajukan. Sayangnya dia memberikan harga yang cukup tinggi untuk barang-barang antiknya. Ha..ha..biasa lah, pembeli kan carinya yang murah.
Setelah agak lama melihat-lihat saya belum menemukan barang yang bisa membuat saya jatuh cinta dan Mokhtar ini dengan sabar menunggu. Sampai saya menemukan sebuah foto lama Masjid Mohammad Ali (Masjid Alabaster) berukuran sekitar 3x5 cm. Saya tanyakan harganya pada Mokhtar, ia menjawab LE 5. Wah, saya bilang harga segitu mahal, soalnya selain foto hitam putih itu sudah kena noda juga tanpa keterangan apapun seperti waktu pengambilan, fotografer, dan kamera apa yang digunakan. Lalu dia jawab dengan senyuman, "Begitulah, tapi ini kan barang lama, antik." Tak lama kemudian saya dapatkan lagi 2 foto dengan ukuran yang sama dengan obyek Masjid Mohammad Ali (berbeda sudut) dan Masjid Ahmad Hassan. Saya ambil juga sebuah koin Amerika Serikat 5 cent keluaran tahun 1973 dan sebuah lagi koin Malaysia 10 sen, lupa tahunnya. Lalu barang-barang itu kutunjukkan ke Mokhtar,"Kalau ini lima pound boleh nggak?"
Agar kesuntukan saya juga tidak bertele-tele, akhirnya saya langkahkan kaki ke Husein. Sedikit melupakan kekesalan sambil mencari kartu ucapan buat dikirim ke kawan di Indonesia. Rupanya hari itu jalanan di pasar Khan el-Khalili sedang dibongkar untu memperbaiki pipa air. Padahal pengunjung juga ramai, jadi saya harus jalan pelan-pelan, antri jalan dengan pengunjung lain yang juga banyak bule.
Setelah beberapa saat celingukan, saya belum juga melihat orang jual kartu ucapan. Mungkin agak ke masuk ke lorong-lorong yang lebih sempit, pikir saya. Saya teringat sekali kalau mau beli kartu ucapan pusatnya adalah di bawah jembatan Tol dekat Kantor Pos Pusat Mesir di Attaba. Di sana banyak sekali kartu pos, kartu ucapan, papyrus sampai perangko bekas bagi yang senang filateli, hobi yang sudah lama saya terlantarkan.
Akhirnya saya sampai di perempatan deket penjual kaos, dari situ saya langkahkan kaki kearah kanan. Baru beberapa langkah, mata saya langsung terpikat sama pajangan barang antik (baca: bekas) yang umurnya sudah uzur. Hehe..kayak manusia aja uzur. Ada sebagian barang di jajarkan di depan toko, namanya lupa. Mulai dari pedang, koin, mesin ketik, kamera zaman butut, sampai barang-barang yang saya tidak tahu namanya. Di dekat saya seorang Bapak melirik saya dengan wajah dingin. Lalu mengucapkan sesuatu dengan Bahasa Inggris yang kurang jelas saya tangkap. Saya diam menatapnya sesaat. Lalu dia bilang,"Aiz ee? (Mau apa?)" dengan bahasa Mesir, karena rupanya dia tahu saya mahasiswa Al-Azhar. Masih dengan wajah dingin. Lalu saya lempar senyum. Dia tetap dingin sambil asyik makan sandwich. Rupanya dia pemilik toko barang antik itu.
Saya melihat di dalam toko lebih banyak kamera bekas dan barang-barang antik lainnya. Saya masuk, ingin melihat-lihat sambil melupakan sesal. Barangkali juga ada barang yang bisa ditawar (hehe sok mau beli). Di dalam ada seorang anak muda sedang menelepon, mungkin pekerjanya. Sekitar 3 menit melihat-lihat, ada 2 orang bule masuk. Anak muda tadi tiba-tiba bertanya pada saya,"Bitdhowwar 'ala hagah mu'ayyanah?" (Kamu sedang mencari barang tertentu?). Saya jawab,"La, ana asyuf bas, induku hagat kuwayyisiin?" (Nggak kok, saya hanya melihat-lihat saja, kalian punya barang bagus-bagus?).
Pria pemilik toko yang sedang berdiri di luar lalu memanggilku. "Ta'al!"(Kemarilah!). Lalu saya keluar, pikir saya biasanya kalo sudah begitu kita akan ditunjukkan barang yang menarik. Lalu,"Imsyi!" (Pergi!) katanya. "Heh!" saya memiringkan kepala. Jangan-jangan saya salah dengar,"Aiwa, imsyi keda!" (Ya, pergi saja!). Benar, tidak salah dengar, saya diusir!
Tiba-tiba saja, sebagai manusia yang sangat biasa tentu saja saya kaget, campur kesal, campur marah, sakit hati dan se. Tiba-tiba saja, hilang sudah rasa sesal karena tidak mendapatkan tashdiq di kampus. Pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa?
Tapi itu tidak lama, beberapa detik kemudian saya sudah bisa menguasai diri. Tak ada gunanya melayani orang ini, tambah kesal nantinya. Saya hanya menatapnya sesaat, ia dengan cuek menghabiskan sandwichnya, tak acuh. Lalu dengan tenang saya tinggalkan orang itu. Saya tak ada urusan dengannya. Biar saja ia menghabiskan makan siangnya.
Saya arahkan langkah saya makin masuk lorong itu. Entahlah, waktu itu saya hanya bertanya dalam hati, kenapa saya diusir? Ah, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya. Saya tidak mau menebak-nebak kenapa saya diusir, biar saja. Dalam hati saya berdo'a, semoga orang itu dibuka hatinya oleh Allah. Dan semoga tidak ada lagi korban pengusiran setelah saya.
Lorong yang saya lewati sore itu banyak yang tutup. Saya sering lewat lorong itu jika jalan-jalan ke Khan el-Khalili. Karena di situ ada beberapa penjual barang antik, mulai dari yang punya etalase seperti toko tadi sampai di ujung gang sempit yang banyak debu. Tak lama saya belok ke kanan lagi. Di sana ada beberapa penjual barang-barang antik. Saya melihat-lihat lagi. Belum ada barang yang menarik saya. Ada beberapa kamera bekas, koin-koin dan lainnya, tapi berserakan begitu saja di pinggiran gang yang kiri-kanannya tembok kusam.
Akhirnya saya sampai di penjual paling ujung. Saya didatangi seorang anak muda. "Andunisia?" tanyanya. "Na'am, ana min Andunisia. E zaiyyak?" (Ya, saya dari Indonesia. Apa kabar?) saya berbasa-basi. "Kwaiyyis." (Baik) katanya. "Syuf gowwah fil mahal!" (Silahkan lihat di dalam juga ada!") ia menawarkan. "Terima kasih." Lalu saya masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak terlalu lebar, pintunya berbentuk setengah lingkaran seperti mihrab, warnanya hitam kusam. Daun pintunya dari kayu, juga kusam. Di dalam saya menemukan banyak barang dipajang.
Saya ngobrol banyak dengannya. Dia orangnya cukup ramah. Orang Azhar juga. Fakultas Bahasa katanya. Namanya Mokhtar Osman, ibunya orang Mesir dan ayahnya asli Sierra Leone. Ia dengan sabar menungguiku yang sekedar melihat-lihat, dan menjawab pertanyaan yang aku ajukan. Sayangnya dia memberikan harga yang cukup tinggi untuk barang-barang antiknya. Ha..ha..biasa lah, pembeli kan carinya yang murah.
Setelah agak lama melihat-lihat saya belum menemukan barang yang bisa membuat saya jatuh cinta dan Mokhtar ini dengan sabar menunggu. Sampai saya menemukan sebuah foto lama Masjid Mohammad Ali (Masjid Alabaster) berukuran sekitar 3x5 cm. Saya tanyakan harganya pada Mokhtar, ia menjawab LE 5. Wah, saya bilang harga segitu mahal, soalnya selain foto hitam putih itu sudah kena noda juga tanpa keterangan apapun seperti waktu pengambilan, fotografer, dan kamera apa yang digunakan. Lalu dia jawab dengan senyuman, "Begitulah, tapi ini kan barang lama, antik." Tak lama kemudian saya dapatkan lagi 2 foto dengan ukuran yang sama dengan obyek Masjid Mohammad Ali (berbeda sudut) dan Masjid Ahmad Hassan. Saya ambil juga sebuah koin Amerika Serikat 5 cent keluaran tahun 1973 dan sebuah lagi koin Malaysia 10 sen, lupa tahunnya. Lalu barang-barang itu kutunjukkan ke Mokhtar,"Kalau ini lima pound boleh nggak?"
"Wah, nggak boleh, lima pound untuk 2 foto itu baru boleh." jawabnya sambil tersenyum.
Akhirnya karena masih belum dapat kesepakatan harga, saya putuskan nggak jadi mengambil barang-barang itu. Karena sudah terlalu lama ngobrol dengan Mokhtar, akhirnya saya pamit tak lupa mengucapkan terima kasih. Teringat saat itu sedang ada PETIR (Pesta Penyair) Masisir di Hadiqah Tifl, Makrom Abied. Saya, meski bukan penyair, ingin juga hadir di sana.
Saya pikir saat itu terlambat, karena sudah pukul 16.00 ketika saya bertolak dari Husein. Padahal rencananya kawan-kawan berkumpul pukul 15.00. Tidak apalah, daripada saya tidak datang sama sekali. Saya langsung meluncur ke Hadiqah Tifl (Children Park).
Tiba di depan taman itu sekitar pukul 17.00, saya melihat kawan-kawan berkumpul di halte. Wah, saya terlambat, mereka sudah mau pulang. Seorang dari mereka melambaikan tangan dari kejauhan. Rupanya Tabrani Basya sang "Presiden" Sajak Masisir.
"Wah, sudah selesai yah?" saya memulai percakapan. "Belum kok," sahut mereka. Ah, syukurlah, saya lega. Malahan rupanya mereka sedang menunggu kawan-kawan yang belum datang. Tak lama, kemudian kami masuk taman setelah beli tiket LE 2 per orang.
"Wah, rupanya tiketnya naik, beberapa hari yang lalu masih LE 1.5." celetuk Nanang Musha.
"He..he...beginilah negeri padang pasir, masuk taman gini aja harus bayar," saya asal menyahut.
Hari itu lumayan banyak yang hadir, ada Tabrani Basya, Nanang Musha, Samingan, Luthfi, Hanafi, Bohemian, Yogi, Hiayat, Titis, Wafi, Laily Qomariah, Nia, Hayla, Lely Dz, Si Cantik Fika :) dan masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu (yang gak kesebut jangan marah, atau kalau mau nampang silahkan daftarkan diri lewat komentar, hehe :P). Bahkan setelah Maghrib, Pangapora datang dengan kawan-kawannya membawa cinta.
Kami memulai pertemuan sore cerah itu dengan membahas penyair Indonesia Joko Pinurbo atau Jokpin. Saya baru saja mengenal Jokpin karena undangan kawan-kawan untuk hadir di PETIR ini. Satu sajak yang saya sukai karya Jokpin, judulnya DUEL.
DUEL
Ayo, buku, baca mataku!
(2007)
Jokpin
Setelah sholat Maghrib, acara kami lanjutkan dengan deklamasi puisi. Setiap yang hadir wajib baca ke depan forum. Wah, sudah 17 tahun lamanya saya tidak berdeklamasi di depan umum. Kini di daulat untuk berdeklamasi. Satu per satu yang hadir berdeklamasi. Ada yang membacakan sajaknya sendiri atau membacakan sajak penyair-penyair lain.
Akhirnya malam itu, saya mau tidak mau harus menjadi penyair (?). Di bawah buaian lampu taman saya bacakan sebuah puisi yang baru saya tulis di dalam bis 80 Coret ketika menuju ke taman itu. Judulnya "YA LAHWI!".
Di sela-sela membaca bait-bait YA LAHWI!, saya ceritakan bahwa malam itu, adalah kedua kalinya sejak terakhir kali saya berdeklamasi di depan umum sejak 17 tahun yang lalu. Waktu itu sekitar tahun 1990, saya masih TK. Saya berdeklamasi di kecamatan untuk mengikuti lomba, kalau tidak salah ingat judulnya "Ibu Kartini". Di tengah semangatnya berdeklamasi-tanpa teks- saya terlupa bait selanjutnya. Waktu itu saya langsung diam, muka saya terasa merah. Dan, akhirnya saya menangis keras-keras di atas panggung di depan mikrofon. Wah, saya tak ingat betapa malunya saya. Ibu Guru yang mendampingi saya langsung naik panggung dan menggendong saya turun. Begitulah, akhirnya saya gagal berdeklamasi untuk pertama kalinya.
Malam itu semangat untuk berdeklamasi menjadi berkobar. Karena kawan-kawan begitu bersemangat untuk mencintai puisi. Walaupun dingin angin malam menusuk tulang, kami masih bersemangat mengikuti acara sampai selesai. Jam sembilan lebih tiga puluh menit kami meninggalkan taman yang cukup hening itu. Dan rasa sesal di hati saya sudah pergi, dihalau sajak-sajak cinta kawan-kawanku, para penyair Masisir.
Cairo, 10 September 2007
Labels: Perjalananku
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home