3.04.2007

Umat Islam di Indonesia Saat Ini;
Mewaspadai Ancaman dan Tantangan*

Pada masa Orde Baru (Orba), perkembangan umat Islam di Indonesia kurang begitu menggembirakan dikarenakan tekanan dari penguasa yang menghalangi laju pergerakan dan kebangkitan umat Islam. Setelah rezim Orba jatuh (Reformasi 1998), umat Islam lebih bebas untuk bergerak dalam berbagai hal, terutama politik. Terbukti dengan bermunculannya berbagai partai politik yang membawa nama Islam. Namun pemasalahan umat Islam tidak berhenti begitu saja. Berbagai isu yang berkembang di kalangan umat Islam tidak jarang membawa perpecahan antar saudara seakidah.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Umat Islam yang menjadi bagian terbesar masyarakat Indonesia pun tidak terlepas dari kemajemukan. Berbagai golongan dan madzhab berkembang dalam tubuh umat Islam Indonesia. Golongan-golongan tersebut secara jelas tampak pada berbagai organisasi sosial, politik dan kemasyarakatan.

Baru-baru ini muncul istilah Islamfobia dalam kehidupan masyarakat, ketakutan terhadap Islam. Yang mengherankan, di beberapa kalangan umat Islam sendiri terjadi ketakutan akan adanya penerapan syariat Islam. Beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang belum lama ini ditetapkan, di antaranya mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat (Prov. Sumbar, Kab. Padang Pariaman), Pendidikan Al-Qur’an bagi Pelajar dan Calon Pengantin (Kab. Solok, Kota Padang, Prov. Sulsel, Kab. Maros,) Pemakaian Busana Muslimah (Kab. Solok, Kota Padang, Pasaman Barat, Kab. Gowa, Kab. Sinjai), Larangan Pelacuran (Kab. Gresik, Jember, Tangerang), Peredaran Minuman Keras (Gresik, Pamekasan); (Republika, 17/06/2006) membuat sebagian pihak menuding adanya upaya Islamisasi undang-undang dan peraturan. Harian Republika (17/5/2006) memberitakan protes yang dilakukan oleh salah satu anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang bernuansa Syariat Islam. Ia menilai perda-perda seperti itu inkonstitusional dan bertentangan dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal perda-perda tersebut tidak ada yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45 sebagai landasan Ideal dan landasan Konstitusional negara.

Jika ditelaah lebih lanjut adalah wajar jika misalnya umat Islam harus bisa membaca al-Qur’an dan memakai pakaian syar’i bagi Muslimah. Toh hal tersebut tidak akan diterapkan pada non-muslim. Indonesia adalah negara mayoritas Muslim yang paling toleran pada umat beragama lain. Muslim Indonesia tidak pernah mengusik kehidupan beragama non-Muslim. Salah satu contohnya adalah perayaan Nyepi di Bali, kaum Muslim di sana menghormati hari raya orang Hindu tersebut. Lantas mengapa upaya untuk menjalankan syariat Islam selalu ditentang habis-habisan?

Beberapa waktu lalu sebuah isu kontroversial yang dapat memicu perpecahan ramai diberitakan media massa. Dalam sebuah Dialog Lintas Agama dan Etnis di Purwakarta, Jawa Barat tanggal 23 Mei 2006 dihembuskan isu pengusiran Gus Dur dari acara tersebut. Isu tersebut dengan cepat menyebar di masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi yang berlebihan di beberapa daerah. Ada upaya adu domba antar umat Islam, dalam kasus ini secara spesifik antara massa Fron Pembela Islam (FPI) dan massa pendukung Gus Dur. Padahal Gus Dur sendiri menyatakan tidak ada pengusiran dalam kasus Purwakarta tersebut. Sebelum acara Gus Dur mengatakan kepada panitia bahwa ia tidak akan mengikuti acara sampai habis, dan sudah menjalankannya (Kompas, 27/5/2006).

Dari beberapa contoh di atas dapat kita lihat adanya indikasi upaya adu domba dan melemahkan kekuatan umat Islam yang notabene adalah umat terbesar bangsa ini. Jika umat Islam saling berseteru antar kelompok maka akan ada pihak yang bertepuk tangan dan mengambil keuntungan demi kepentingan dan tujuannya sendiri. Pihak seperti inilah yang menghendaki perpecahan di tubuh umat Islam terus berjalan dengan menciptakan berbagai isu, seperti pembelokan berita dan menciptakan opini negatif tentang Islam pada masyarakat secara terus menerus.

Indikasi adanya konspirasi penghancuran dan melemahkan umat Islam di Indonesia ini datang dari dalam dan dari luar. Untuk itu umat Islam harus waspada dalam menghadapinya baik yang dari dalam dan dari luar. Kedua kemungkinan sama-sama kuatnya, bahkan bisa berjalan beriringan dan saling mendukung. Penghancuran Khilafah Islam di Turki tahun 1924 yang dijalankan oleh Mustafa Kemal Attaturk –yang notabene adalah muslim- dan menggantinya dengan negara sekuler adalah sebuah sejarah penghancuran umat Islam dari dalam yang mendapat sokongan Inggris dan Perancis. Hendaknya hal itu tidak akan terjadi di Indonesia.
Upaya menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sudah tampak jelas di Indonesia dengan jargon-jargon Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme. Berbagai penafsiran tentang ajaran Islam secara liar terjadi dan terbuka luas, bahkan sudah lama masuk pada kampus-kampus Islam seperti UIN, IAIN dan STAIN. Organisasi-organisasi yang mengasong jargon-jargon tersebut mendapatkan dana yang tidak sedikit dari pihak asing. Sangat naïf jika dikatakan bahwa penyandang dana tersebut tidak mempunyai maksud dan tujuan tertentu, bukankah mereka tidak mengenal amal jariyah? Hasilnya pun sudah tampak jelas; penghinaan terhadap Allah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung oleh sejumlah mahasiswa, dilegalkannya praktek perkawinan homoseksual oleh sejumlah akademisi di IAIN Semarang, dilegalkannya pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim oleh dosen fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan masih banyak lagi pemikiran dan ajaran nyeleneh yang disebarkan di Indonesia.

Sekularisme adalah paham yang memisahkan sama sekali antara agama dan kekuasaan. Artinya pemerintah tidak mempunyai kepentingan untuk mengatur kehidupan umat beragama. Jelas ini paham yang mengobrak-abrik ajaran agama Islam. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam selain menjadi pemimpin agama juga sebagai kepala negara di Madinah. Kejayaan Islam selama berabad-abad juga berada di bawah kekhalifahan yang berjalan di atas rel agama. Para pengusung sekularisme sudah sejak lama berusaha membuat Indonesia menjadi negara sekuler. Namun sampai sekarang tidak berhasil, hal ini dikarenakan ajaran agama sudah melekat kuat sejak lama pada masyarakat Indonesia.

Sudah menjadi sunatullah bahwa manusia diciptakan dalam berbagai macam suku, ras, warna kulit dan berbagai perbedaan lainnya. Hal inilah yang disebut dengan pluralitas atau keanekaragaman. Namun Pluralisme Agama yang diusung oleh beberapa kalangan akademisi di Indonesia menimbulkan keraguan masyarakat akan agamanya sendiri yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan semuanya menuju jalan kebenaran. Mereka (para pengasong Pluralisme Agama yang mengaku muslim) menganggap Islam bukanlah yang paling benar. Teologi gombal seperti ini bahkan sudah ditolak oleh Vatikan pada tahun 2001 dengan dikeluarkannya dekrit “Dominus Jesus” oleh Paus Yohanes Paulus II. Jadi setiap agama berhak mengklaim kebenaran pada agamanya. Toleransi antar umat beragama itu tidak masuk pada tataran akidah. Sesuai dengan ajaran al-Qur’an, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku,” jelas dan tidak ambigu.

Di era globalisasi seperti sekarang ini liberalisasi nilai-nilai moral agama memunculkan ide-ide dekonstruktif dari lingkungan IAIN dan sejumlah perguruan tinggi Islam yang membuat moral masyarakat muslim tidak berdaya menghadapi sebuannya di media massa. Serbuan-serbuan dekonstruksi moral yang dilakukan sebagian alumni IAIN atau sejenisnya tentu saja lebih dahsyat dari pada serbuan dari luar-seperti yang dilakukan sebagian orientalis. Sebab, para alumni atau akademisi IAIN dan sejenisnya mempunyai legitimasi sebagai ‘ulama’ yang seharusnya menjaga agama, sebagaimana diamanahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam (Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi; Adian Husaini, GIP, 2006).
Sedangkan upaya melemahkan kekuatan umat Islam dari luar hendaknya juga diwaspadai. Amerika Serikat dan Barat tentu tidak tinggal diam dalam menanggapi prediksi Samuel Huntington bahwa setelah komunis (Rusia), ancaman bagi peradaban Amerika dan barat adalah Islam. Jika kita sering mengikuti perkembangan di Irak, Afghanistan dan Palestina maka akan tampak jelas standar ganda AS, Israel dan barat yang menyuarakan perdamaian namun menginvasi negara-negara Islam. Karena tujuan sebenarnya adalah untuk melemahkan umat Islam. Kita tahu bahwa AS dan barat berusaha keras menggagalkan proyek energi nuklir Iran sedangkan AS sendiri menggiatkan pengayaan Uranium (Republika, 27/06/2006). Secara simpel dapat kita simpulkan bahwa negara adidaya itu berusaha untuk melemahkan negara-negara Islam satu per satu. Sejak peledakan gedung WTC (11 September 2001), AS telah memproklamasikan perang terhadap terorisme dan hanya membuat dua pilihan, “Either with us or with terrorist (Bersama kami atau bersama teroris).”

Setelah melihat apa yang dilakukan AS dan sekutunya terhadap negara-negara Islam dapat kita tarik benang merah dengan keadaan umat Islam di Indonesia. Indonesia adalah negara besar dengan umat Islam terbesar di dunia. Beberapa waktu lalu beberapa petinggi AS dan Inggris berkunjung ke Indonesia. PM Inggris Tony Blair berkunjung ke Indonesia pada akhir Maret 2006 yang lalu. Tony Blair menegaskan maksud kedatangannya ke Indonesia adalah karena urgensi sebagai negeri muslim yang menurutnya dapat menjadi simbol penyatuan demokrasi dan Islam. Padahal dalam kesempatan lain Blair menyatakan bahwa Islam merupakan ideologi jahat/Evil Ideology (BBC News, 16/7/2005). Dalam waktu yang berturut-turut Menlu AS Condoleezza Rice dan Menhan AS Donald Rumsfeld juga berkunjung ke Indonesia. Tampaknya hal-hal seperti itu harus dicermati dengan baik oleh umat Islam. AS melalui petinggi-petinggiya berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia agar bergabung dengan Proliferation Security Initiative (PSI). PSI adalah sebuah kerjasama keamanan permanen yang dengan itu AS dapat masuk dengan atau tanpa izin ke wilayah Indonesia dengan dalih menjaga keamanan dan memberantas teroris.

Media Massa dan Opini Masyarakat
Peranan media massa dalam membentuk opini masyarakat sangatlah penting. Media mampu membuat sebagian besar pembacanya mempunyai pandangan tertentu dalam menanggapi sebuah pemberitaan sesuai dengan misi media tersebut. Karena itu umat Islam harus waspada terhadap segala pemberitaan yang menyangkut kepentingan umat. Dalam kasus di Purwakarta misalnya pemberitaan yang simpang siur menyebabkan terjadinya berbagai reaksi yang hampir berakibat fatal.

Wacana tentang Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme dapat hidup dan berkembang pesat di Indonesia juga karena jasa media massa. Para pengasongnya dengan gencar melakukan sosialisasi di berbagai media. Sehingga apa yang mereka bawa dari peradaban di luar Islam sedikit demi sedikit mempengaruhi masyarakat terutama generasi muda.

Dekonstruksi moral yang meracuni masyarakat berkembang pesat melalui media massa di Indonesia. Dari IAIN Yogyakarta, Muhidin M. Dahlan menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah” (SriptaManent dan Melibas, 2005, cet. ke-7) yang memuat kata-kata: “Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan.” Sungguh sebuah pernyataan yang berbahaya.
Playboy asal Amerika dengan sangat gigih diperjuangkan agar bisa terbit di Indonesia. Padahal masyarakat yang menolak dan menentang cukup banyak. Bahkan kantornya diisukan pindah ke Bali pada saat baru menerbitkan edisi perdananya karena banyak protes masyarakat. Tampaknya ada upaya sistematis dan terus-menerus untuk menyebarkan hal-hal yang bertentangan dengan adab dan budaya masyarakat Indonesia. Dekonstruksi moral yang pada awalnya dianggap tabu, dapat menjadi hal yang biasa bagi masyarakat bila disebarkan secara terus-meneru dan berulang-ulang.

Adian Husaini dalam bukunya, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (GIP, 2006) mengisyaratkan adanya skenario dan grand design dibalik apa yang sedang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Masyarakat harus waspada menghadapi berbagai fenomena yang terjadi. Hendaknya kita tidak mudah terpancing dan menelan mentah-mentah apa yang datang baik dari luar maupun dari dalam. Persatuan umat sangat penting untuk menghadapi berbagai arus negatif yang mengalir di masyarakat. Wallahu a’lam bishowab.
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin TERAS yang diterbitkan oleh Forum Silaturahmi Alumni Bahrul Ulum Tambak Beras di Kairo, dan secara iseng saya muat di sini sekedar mengumpulkan kembali tulisan2 saya yang berceceran.

Labels:

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

entry yang bagus.....harus berfikir di peringkat nasional berkenaan agama....

Saturday, March 10, 2007 4:12:00 am  
Blogger Unknown said...

artikel yg bagus
trima kasih:)

Tuesday, September 24, 2013 11:43:00 am  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home