Luxor, 2 Feb 2007
Suasana segar segera memenuhi kamar 407 Hotel Karnak, tempat kami menginap begitu saya membuka jendela kamar. Pemandangan mega merah yang mulai terang dan hijaunya sawah serta kebun penduduk lokal menyejukkan mata. Kabut masih menyelimuti sela-sela daun-daun dan pepohonan di bawah sana. Kami baru saja selesai sholat subuh dan sedang menunggu makan pagi pada pukul 5.30. Guide kami mengatakan bahwa hari itu kita akan melanjutkan kunjungan lagi pada pukul 6.30.
Selesai makan pagi kami semua sudah berkumpul di lobi hotel. Pagi yang dingin itu menjadi hangat dengan gurau dan canda peserta tour. Selama di Luxor selain Madam Irfat dan Madam Nadia ada seorang Guide yang akan menemani kami menjelaskan berbagai hal dalam perjalanan. Ia juga sudah menemani kami ketika mengunjungi Kuil Karnak dan dan Kuil Luxor hari sebelumnya, namanya Pak Nabil, kalau tidak salah, soalnya sudah agak lupa.:)
Hampir tepat pukul 6.30 kami berangkat menuju Wadi el- Muluk (Valey of The Kings). Sebelum rombongan kami berangkat, bus diarahkan menuju sebuah tempat, disana beberapa kendaraan sudah menunggu. Di Mesir terutama di wilayah provinsi, semua rombongan turis harus mengikuti prosedur keamanan dengan pengawalan khusus Polisi. He..he..kayak presiden aja dikawal. Agar efisien, para rombongan turis ke Lembah Para Raja yang melakukan kunjungan pada hari itu disatukan. Tampaknya setiap kunjungan ke tempat wisata yang agak jauh dan melewati gurun harus mendapat pengawalan serupa, dan itu sudah menjadi prosedur tetap keamanan di Mesir selama ini.
Setelah hampir setengah jam menunggu rombongan lain dari berbagai negara, kami meluncur menuju Wadi el-Muluk. Saya lihat ada lebih dari 10 kendaraan baik besar maupun kecil dalam rombongan itu, ditambah dengan dua kendaraan Polisi berisi sejumlah pasukan bersenjata otomatis laras panjang, termasuk Automatic Kalashnikov 47 alias AK-47.
Perjalanan menuju Wadi el-Muluk membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Terletak di West Bank (Bar el-Gharbiy), sebelah barat sungai Nil, di mana banyak peninggalan peradaban Mesir kuno ditemukan. Tak salah bila orang menyebut Luxor, sebagai Museum Terbuka terbesar di dunia.Hotel kami terletak di sebelah timur sungai Nil, sehingga untuk mencapainya rombongan harus memutar ke selatan melewati bendungan sekaligus jembatan yang menghubungkan daratan barat dan timur sungai Nil.
Keluar dari daerah pedesaan yang hijau kami memasuki pegunungan pasir dan batu-batu cadas. Bis yang kami tumpangi melewati sebuah jalan beraspal halus di lembah yang berkelok-kelok dengan batu cadas tinggi pada kiri kanan jalan. Akhirnya kami sampai di ujung lembah yang dikenal dengan Lembah Para Raja atau Valey of The Kings. Orang Mesir menyebutnya Wadi el- Muluk dalam bahasa Arab.
Dijuluki Lembah Para Raja karena di tempat itu banyak ditemukan makam-makam para Raja Mesir kuno dari berbagai masa dan Dinasti. Makam-makam itu digali dan dipahat pada gunung batu di sekeliling lembah. Sungguh sebuah peradaban yang sangat menakjubkan di mana belum ada peralatan modern seperti saat ini, merek dapat membangun, memahat, menggali dan menggukir bebatuan dengan tulisan-tulisan serta ornamen-ornamen.
Pemerintah Mesir tampaknya cukup perhatian terhadap peninggalan peradaban leluhur mereka. Lembah yang terletak di tengah gurun pasir dan banyak dikunjungi turis ini sudah memiliki berbagai fasilitas yang memadai. Tempat parkir kendaraan yang luas dan sebuah bangunan yang diguakan sebagai pintu gerbang masuk telah dibangun di sana.
Untuk memasuki gerbang itu, para pelancong harus melalui pemeriksaan dengan melewati pendeteksi logam. Sedangkan semua tas yang dibawa harus masuk ke dalam sensor sinar-X yang lazim digunakan petugas keamanan di bandara. Begitu memasuki bangunan kami disambut dengan miniatur Lembah Para Raja yang tampaknya terbuat dari Fiberglass dan diletakkan dalam kotak kaca tembus pandang. Dalam miniatur itu, para pengunjung bisa melihat banyaknya lorong dan labirin yang menembus bebatuan di lembah itu.
Di dalam gedung sebelah kanan ada sebuah ruangan kira-kira cukup untuk menampung 70 orang dan dilengkapi dengan kursi-kursi dan layar lebar. Ruangan itu berfungsi sebagai ruang display yang memutar film tentang sejarah, pemugaran dan hal-hal yang berkaitan dengan Lembah Para Raja.
Keluar dari ruangan berpendingin udara itu, kami berhadapan langsung dengan sebuah lembah berpegunungan batu di sisi kiri dan kanannya. Sebuah tanah lapang beraspal tempat para turis menunggu kendaraan menuju lokasi terbentang. Hari itu suasana hiruk pikuk dan ramai sekali. Manusia dari berbagai negara berkumpul di sana. Di sebelah kanan para penjual souvenir menjajakan dagangannya.Awalnya kami kira perjalanan ke lokasi makam para raja itu cukup jauh, sehingga kami harus bayar 2 Pound Mesir untuk naik kendaraan yang disediakan oleh petugas. Ada beberapa kereta kelinci yang membawa para turis hilir mudik dari gerbang utama ke lokasi. Ketika hampir sampai di lokasi, manusia sudah memenuhi jalanan di lembah itu sehingga kereta kelinci yang kami tumpangi tdak dapat masuk lebih jauh lagi. Kami pun terpaksa turun dan jalan kaki menuju lokasi. Beberapa anggota rombongan agak menggerutu karena jarak yang ditempuh cuma sekitar 300 meter dan harus membayar 2 Pound. Padahal jika berjalan kaki tidak akan lebih dari 10 menit. Rupanya jarak itu tidak dapat kami lihat dari gerbang utama karena jalanan berkelok dan ditutupi sebuah bukit batu.
Cuaca saat itu cukup panas namun tidak sepanas ketika musim panas. Saya harus membuka jaket saya karena kegerahan, padahal pagi sebelum berangkat tadi udara terasa dingin. Matahari bersinar terang tanpa awan sedikitpun di langit. Ratusan turis lokal dan asing berbaur menuju gerbang kedua yang merupakan lokasi sebenarnya makam para raja Mesir kuno.
Di gerbang kedua, orang yang masuk harus membeli tiket terlebih dahulu. Sedangkan kami langsung masuk setelah Guide kami menunjukkan rekomendasi Kementrian Pariwisata.
Gerbang kedua ini hanya berupa pagar besi dan bangunan loket untuk membeli tiket. Agak ke dalam ada sebuah tempat berteduh dengan kursi-kursi untuk melepas lelah. Tempat ini dibangun bertingkat sehingga di bagian dapat berfungsi sebagai panorama view. Sebuah papan pengumuman tertulis untuk melarang pengunjung menggunakan kamera video di tempat itu. Sementara kamera foto digital hanya boleh digunakan diluar ruangan makam. Memotret tanpa izin adalah hal terlarang di dalam semua ruangan peninggalan Mesir kuno, seperti di dalam Pyramida atau makam-makam raja lainnya. Tertulis juga dalam bahasa Arab dan Inggris bahwa Guide dilarang memberikan penjelasan di dalam makam untuk dengan alasan keamanan dan kelestarian makam. Sebelum memasuki makam, Guide memberikan penjelasan tentang beberapa hal mengenai Lembah Para Raja.
Di kiri kanan jalan terdapat banyak sekali pintu masuk menuju lorong-lorong makam. Saya tidak menghitung berapa jumlahnya, yang jelas cukup banyak. Mungkin untuk masuk ke seluruh lorong dan makam itu tidak cukup dalam waktu sehari. Guide kami mengarahkan rombongan menuju sebuah makam,saya lupa makam raja siapa, yang berada di tempat cukup tinggi. Untuk masuk makam itu kami harus naik sebuah tangga buatan dari besi setinggi kurang lebih 20 meter.
Menaiki tangga itu kami harus berhati-hati karena selain sudut kemiringannya yang cukup tajam, hari itu banyak sekali orang yang berkunjung. Satu per satu kami naik anak tangga dengan berpegang pada sebuah besi yang berfungsi sebagai pegangan. Di ketinggian ada sebuah lorong menurun. Pelan-pelan kami menuruninya, sementara di sisi lain tangga para pengunjung yang sudah selesai melihat menyemut naik. Udara di dalam lorong itu pengap dan panas meskipun sudah dipasang pengatur sirkulasi udara di semua ruangan makam itu. Banyaknya pengunjung pada hari itu membuat oksigen dalam ruangan menipis. Karena itu banyak pengunjung yang cepat-cepat keluar sebelum kehabisan nafas.
Dalam lorong menurun itu ada beberapa ruangan kosong yang saya belum mengerti fungsi setiap ruangan itu di buat. Ada dua ruangan besar yang terletak di dasar lorong. Sebuah ruangan yang terletak di ujung lorong itu terdapat sebuah peti mati yang terbuat dari batu. Peti mati itu sudah kosong. Di sekeliling dinding dan atap ruangan itu terukir Hieroglyph dan lukisan-lukisan dengan warna-warna yang masih asli sejak ribuan tahun yang lalu. Lampu-lampu menyinari setiap sudut ruangan dan tangga membantu pengunjung melewati dan melihat ukiran-ukiran di dinding. Kaca tembus pandang dipasang di sekeliling tulisan dan ukrian di dinding batu itu untuk menghindari kerusakan akibat tangan-tangan para pengunjung yang kebanyakan ingin menyentuhnya.
Saya hanya berada di dalam lorong itu sekitar 5 menit dan segera naik tangga kembali untuk keluar karena tidak tahan dengan udara pengap dan panas. Peluh saya bercucuran dari dahi dan dada terasa agak sesak. Akhirnya kami berhasil keluar meskipun pengunjung lain yang baru datang masih menyemut turun untuk melihat isi lorong. Sambil menunggu yang lain keluar, kami berfoto ria dengan struktur bebatuan yang menarik.
Setelah istirahat sebentar kami mengunjungi makam kedua yang terletak sekitar 200 meter dari makam yang kami kunjungi tadi. Makam ini milik Raja Tausert/Setnahkt dari Dinasti ke 19/20. Tepatnya tidak tinggi seperti makam yang pertama. Pintu masuknya lebar dengan berbagai lukisan dan Hieroglyph berwarna di kedua sisinya. Lorong itu lebar dan cukup tinggi sehingga kami pengunjung bisa leluasa memasukinya. Di ujung lorong terdapat sebuah sarkofagus (peti mati batu) yang juga telah kosong.
Setelah mengunjungi makam yang kedua itu, rombongan keluar melalui gerbang yang sama ketika masuk, hanya saja jalurnya dibedakan. Setelah keluar dari gerbang kedua, beberapa peserta tour terpisah dari rombongan karena banyaknya orang. Kami kembali naik kereta kelinci untuk kembali ke gerbang pertama dan tempat parkir, namun kali ini tanpa dipungut biaya karena ongkos yang kami bayar dihitung pergi-pulang. :)
Kuil Hatshepsut
Setelah kembali ke dalam bus, rombongan diberi tahu bahwa lokasi kunjungan selanjutnya adalah Kuil Hatchepsut. Sebuah kuil atau bangunan peninggalan yang dibangun oleh seorang arsitek bernama Senmut untuk Ratu Hatchepsut, seorang Firaun perempuan dari Dinasti ke-18.
Lokasi Hatchepchut sebenarnya berada di balik gunung tempat makam para raja berada. Namun untuk mencapainya kami harus melalui jalan yang memutar di sisi pegunungan itu. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan. Sebelum memasuki lokasi tampak di kejauhan Kuil yang besar itu dibangun dan dipahat pada sisi tebing.
Turun dari bis, deretan kios-kios souvenir didirikan sepanjang jalan menuju gerbang masuk. Sama seperti di Valey of The Kings, di gerbang ini para pengunjung diperiksa, hanya bedanya tidak ada bangunan berpendingin udara. Setelah gerbang masih dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju kuil sekitar 200 meter. Atau kalau tidak ingin capek, bisa naik kereta kelinci yang di sediakan. Peserta rombongan tersenyum ketika ditawari naik kendaraan atau jalan kaki oleh Guide. Dengan kompak kami menjawab, "Nahnu namsyi faqoth!" alias "Kita jalan kaki saja, Pak!" Selain karena jaraknya tidak terlalu jauh, kita juga bisa mengambil gambar ketika perjalanan. Terik Matahari yang cukup menyengat tidak membuat semangat kami kendur untuk melihat kemegahan Kuil Hatchpesut.
Sekitar 50 meter dari tangga masuk ada sebuah gerbang lagi untuk pemeriksaan tiket. Sambil menunggu giliran masuk saya mengambil gambar sepuasnya karena panoramanya cukup indah. Waktu itu sekitar pukul 12.00 tengah hari. Hampir saja saya lupa kalau pada hari itu biasanya saya harus pergi ke Masjid untuk sholat Jum'at karena selama di Luxor dan Aswan selain sholat shubuh kami melakukan sholat jama' dan qashar. Sombong rasanya jika tidak melaksanakan keringanan yang diberikan Allah bagi umatnya yang melakukan perjalanan jauh.
Sebuah tangga batu terbentang di depan kuil layaknya sebuah tangga menuju istana. Di kuil raksasa yang mempunyai dua tingkat itu banyak terdapat pilar-pilar dan patung-patung besar. Ukiran dan tulisan Hieroglyph juga tidak terlewat menceritakan keadaan Ratu Hatchepsut pada saat itu. Salah satu dindingnya menceritakan ekspedisi ratu yang dikisahkan sangat cantik itu ke Somalia.
Pada tingkat paling atas terdapat sebuah ruangan yang dilarang dimasuki oleh pegunjung. Ruangan itu mempunyai pintu yang tinggi namun kami tidak dapat melihat dinding di dalamnya karena tidak ada cahaya matahari yang masuk. Seorang turis membawa sebuah cermin bulat dan memantulkan cahaya Matahari ke dinding ruangan. Melalui pantulan sinar matahari kami dapat melihat lukisan-lukisan berwarna di dinding. Beberapa pengunjung berdesakan untuk melihat lebih dekat.
Setelah puas saya bermaksud keluar dan turun dari tingkat paling atas, namun harus berdesak-desakan untuk keluar karena pengunjung yang naik ke tingkat atas juga banyak. Di pelataran kuil itu beberapa bagian patung dibiarkan berserakan dan belum selesai dilakukan restorasi. Setelah mengambil foto-foto, rombongan kembali ke bis dan bersiap menuju tujuan berikutnya, sebuah kota kuno bernama Habu.
Kota Habu
Kota Habu mempunyai sebuah komplek bangunan yang mempunyai banyak sekali gerbang dengan tembok raksasa. Di tembok itu terukir huruf-huruf Hieroglyph dan lukisan-lukisan para Dewa Mesir kuno. Diukir juga cerita mengenai keadaan kota Habu pada masa itu.sama seperti komplek kuno lainnya di Luxor, di dalam komplek itu juga terletak banyak sekali pilar-pilar raksasa berukir dan patung-patung. Lukisan-lukisan itu masih menyisakan warna-warna yang masih asli, merah, biru, hijau, kuning dan warna-warna lain. Warna-warna itu sudah berumur ribuan tahun, namun masih awet hingga sekarang.
Setelah mengunjungi kota Habu, kami kembali ke hotel. Di dalam bis, saya merasa cukup capek dan ngantuk sekaligus lapar. Namun semua itu terobati dengan membawa foto-foto dan kenangan mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu. Agar tidak bosan, kami bercakap-cakap dan berseloroh selama perjalanan.
Seorang kawan saya bercerita bahwa sebelum masuk ke Kota Habu dia berjalan dekat dengan kawan-kawan dari Thailand yang berjumlah 6 orang. Mereka berasal dari Pattani yang memakai bahasa Yawi, salah satu logat dalam bahasa Melayu. Sejak sampai di Luxor hari seelumnya semua yang kami kunjungi adalah kuil-kuil dan bangunan bersejarah. Ketika masuk ke lokasi Kota Habu, salah satu kawan Thailand tadi nyeletuk,"Batu lagi, batu lagi...!". Mendengar cerita itu kami tertawa karena memang sejak kemarin kita mengunjungi batu. He he he...
Cerita perjalanan mengunjungi Lembah Para Raja, Hatchepsut dan Kota Habu sudah usai, namun perjalanan belum selesai sampai di sini. Ceritanya masih belum ada separuh perjalanan, jadi tunggu saja kisah perjalanan kami selanjutnya....
Salam dari Gerbang Tiga, Madinet Nasr, Cairo
Catatan: Semua foto diambil dengan kamera BenQ DC C510, semoga berkenan dan jangan kapok bacanya....
Labels: Perjalananku
4 Comments:
Jadi pengin ke sana :D
Bisa gak ya? hmmm.. ada kesempatan gak ya?
sungguh hebat....tak tau bila saya dapat lihat dengan sendiri semua itu..
@Mbak Putri
Insya Allah sempet mbak, mumpung masih deket, entar kalo jauh kepalang tanggung. Sstt..insya Allah guide udah siap...gratis lho...hehehe
Sal, photo" cakep kenapa gak di-edit dikit n diaplod k FN, asik" tuh angle-mu, salam jreprets,
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home