Rumahku dan Sekitarnya
Sekarang, aku tinggal di sebuah flat bersama 4 orang kawan. Sebuah flat sederhana di lantai dasar sebuah gedung berlantai 6. Umur gedung ini mungkin hampir seumuran denganku, tapi entahlah aku tidak tahu berapa tua gedung ini. Gedung ini berdiri kokoh di samping sebuah jalan raya Kairo di bilangan Hay el-Asyir, Nasr City. Nama kampung yang kami tinggali juga cukup unik, Swissry. Diambil dari pengucapan Arab untuk Switzerland. Konon gedung-gedung apartemen di daerah ini proyeknya didapat dari pinjaman pemerintah Swiss. Tapi itu kabar yang ku dengar, kebenarannya masih harus dicek lagi.
Orang Mesir memang suka menyebut negerinya sebagai Umm el-Dunya, Ibunya Dunia. Entah kenapa mereka menyebut negerinya seperti itu. Di Mesir banyak sekali nama-nama tempat yang mengadopsi nama tempat lain di dunia ini. Seperti El-Menia untuk Jerman, Maidan Libnan untuk Lebanon Square, Hadiqah Yabaniah (Taman Jepang), bahkan mereka membuat sebuah taman yang mempunyai miniatur ciri khas negara-negara di dunia. Anda bisa berfoto dengan latar belakang patung Liberty kecil atau kincir angin Belanda di sana. Mereka menyebutnya Hadiqah el-Dauliyah atau Taman Internasional, meskipun aku sendiri merasa agak kesal karena Indonesia tidak kutemukan di sana. Bukankah Presiden Soekarno adalah kawan karib Presiden Gamal Abdul Nasser? Tapi biarlah, suka-suka yang buat.
Bekas kemesraan Indonesia - Mesir yang dikenal sampai sekarang adalah buah mangga. Mereka menyebutnya mangga Sukarnu (orang Arab susah ngomong "O" dan "P"). Konon bibit mangga itu pertama kali dibawa oleh Presiden Soekarno dan berkembang hingga kini. Pernah juga aku melihat papan nama jalan menuju Alexandria bertuliskan Shari’ (Jalan) Ahmad Soekarno. Hehe bikin semakin bangga jadi orang Indonesia....
Apa yang patut menjadi contoh dari orang Mesir adalah kecintaan mereka pada negerinya. Sehingga kebanyakan mereka lebih suka membeli produk lokal dari pada barang impor. Meskipun tampaknya sekarang mulai berubah. Anak-anak muda Mesir sekarang sedang gandrung produk-produk luar negeri.
Kawan-kawan Indonesia seringkali merasa jengkel akibat terlalu cintanya orang-orang Mesir pada negerinya, terutama orang-orang Baladi (orang kampung). Mereka seringkali terasa terlalu berlebihan membanggakan negerinya. Jika sudah begitu ada baiknya ditanggapi dengan bercanda saja, dari pada makan hati. Chauvinisme yang kadang terlalu. Memuji negeri sendiri kelewat batas.
Ada pengalaman unik....Suatu ketika seorang kenek Tramco (angkot) mengagumi negerinya dengan mengatakan Mashri umm el-dunya (Mesir Ibu Dunia). Saya dan kawan-kawan yang jadi penumpang pada waktu itu langsung menimpali, "Andunisi abuha" (Indonesia Bapaknya). Ia langsung mendelik dan tidak setuju.
Lalu kami katakan,”Loh kasihan dong, masak punya Ibu nggak punya Bapak?”
Ia tampak berpikir sejenak lalu tersenyum tanda setuju. Hehe…kena kamu. Dan kejadian saperti ini tidak hanya sekali dua kali, tapi sering dan kami punya senjata untuk menandinginya, seperti tadi.
Kembali ke rumah kami, di samping rumah kami terdapat sebuah ruangan yang luasnya kira-kira sama dengan ruang kamarku, 3 kali 4 meter, bahkan kelihatannya lebih kecil. Dalam kamar itu juga termasuk dapur dan kamar mandi. Dan di ruangan itu tinggallah sebuah keluarga dengan 6 anggotanya. Mereka adalah keluarga Bawwab (penjaga gedung apartemen) yang menjaga sekaligus menjadi pembersih di gedung yang kami tempati. Sha’ban, istrinya, ibu mertuanya yang sudah tua, serta tiga anak mereka Walied, Mona, dan Halimah. Mereka berasal dari kampung di Provinsi Bani Suwef. Sudah bertahun-tahun mereka tinggal di Kairo, aku tidak tahu sejak kapan mereka di situ. Mungkin sejak gedung ini berdiri seperti kebanyakan Bawwab lainnya. Mereka dibayar dari uang yang dikumpulkan dari penghuni gedung sebesar 30 Pound Mesir (sekitar lima puluh ribu Rupiah) tiap flat.
(Gambar di atas adalah foto Sya'ban, waktu itu ada kamera lalu saya suruh senyum dan klik....he..he)
Di gedung yang kami tinggali ada 24 flat, namun beberapa tampaknya tidak dihuni. Tapi gini2 dalam rumah Sya'ban lengkap ada televisi 14 inch, ada lemari es, ada mesin cuci dan kompor gas, bahkan baru2 ini mereka beli HP Nokia men....wuih......Kalo di kampung saya nggak ada yang kayak gini nih...tipi aja boro2. Tapi rata2 penjaga gedung di Kairo emang kayak gini sih. Meski rumah sempit tapi dalamnya lengkap, apalagi kalo di jaga apartemen elit.
Sha’ban adalah seorang buta huruf , umurnya sekitar 40-an. Ia selalu memakai jalabiyah (jubah) khas kampung Arab dengan sorban yang dililitkan di kepala. Seringkali ia menumpang untuk menelepon di rumah kami. Biasanya ia akan meminta kami menekan digit-digit telepon dari kertas bertuliskan nomor telepon yang ia bawa. Kadang aku geli juga dengannya, kalau menelepon minta tolong memijit nomornya tapi kalo soal hitung menghitung duit, tanpa kalkulator pun sudah mahir. Jika menelepon suaranya keras, kalau di kampungku desibel sebesar itu udah dianggap berteriak-teriak. Dulu pertama kali kukira ia marah-marah, tapi ternyata begitulah nada bicara kebanyakan orang Arab. Pada dasarnya ia baik, namun kadang juga menjengkelkan, tidak punya sungkan. Pernah kutegur karena nyelonong begitu saja ketika baru saja kubukakan pintu, atau ketika menelepon lebih dari 10 menit. Dasar Arab…pati nggenah. He..he…
Istrinya juga buta huruf. Tapi lebih halus dari suaminya. Mungkin perangai seorang Ibu. Tapi tetap saja nada suaranya tinggi ketika menelepon. Kami sudah terbiasa. Kami sering berbagi bumbu dapur dengan keluarga itu. Ketika kami kehabisan bawang merah tinggal menyampaikannya lewat jendela, begitu juga ketika mereka kehabisan gula, wajahnya akan nongol di jendela dapur. Transaksi itu sering kami lakukan jika malas keluar atau ketika perlu cepat. Sehingga keakraban antara kami terjalin. Dengan anak-anaknya pun kami kenal baik.Walied kini sedang menempuh kuliah tahun pertama di fakultas teknik. Entah di univeritas mana. Inilah salah satu yang aku kagumi dari Mesir, pendidikan murah dan mendapat prioritas. Aku memimpikan akan terjadi di negeriku, Indonesia. Negeri yang jauh lebih luas dan lebih subur dari pada Mesir yang sebagian besar hanya gurun pasir gersang. Bahkan buku-buku banyak dijual murah melalui program Ibu Negara Suzanna Mubarok, Maktabah Usroh (Pustaka Keluarga).
Umur Walied sekitar 19 tahun. Ia seorang yang ramah dan kakak yang baik bagi adik-adiknya. Aku tidak tahu apakah Walied anak pertama atau tidak. Kata senior-seniorku ia punya kakak perempuan yang tinggal di kampung. Aku sendiri tidak pernah bertanya tentang itu. Ia menjadi tempat kami bertanya ketika kesulitan memahami bahasa Arab atau Ammiyah (Bahasa Arab Gaul).
Mona adalah adik Walied, umurnya sekitar 17 tahun, sedang belajar di Madrasah Tsanawiyyah (setingkat SMU) jurusan Elektronika. Pernah kami menanyakan tentang tempat penjualan sebuah komponen Magic Jar kami yang rusak. Tampaknya ia belum tahu, tapi dengan senang hati dibawanya komponen itu ke sekolah dan bertanya pada gurunya. Ia juga peramah tapi agak pemalu. Wajarlah, tetangga yang tinggal di dekat rumah kecilnya cowok semua sih. He-he…
Halimah adik Mona adalah seorang ABG yang masih duduk di Madrasah I’dadiyyah (setingkat SMP). Dua tahun yang lalu ketika pertama kali tinggal di sini, ia seorang gadis kecil yang agak nakal. Suka usil dan bernyanyi keras-keras. Sekarang lebih mirip kakaknya, pemalu.Sedangkan nenek mereka tidak pernah ku dengar bicara. Lebih sering di dalam kamar. Sha’ban bilang ia sering sakit-sakitan. Mereka adalah keluarga yang cukup baik. Sha’ban meskipun ia buta huruf tetapi terus mendorong anaknya untuk giat belajar. Anak-anaknya pun rajin-rajin. Mereka biasanya belajar di luar. Di depan kamar, Sha’ban membuat tempat duduk dari semen dan pasir berukuran sekitar 1,5 kali 3 meter. Di atasnya digelar tikar plastik. Walied dan adik-adiknya sering belajar di situ. Bisa dianggap di situlah ruang keluarga bagi mereka. Di malam hari Sha’ban dan Walied bergantian tidur di luar dengan selimut tebal. Jika malam ini Walied, besoknya ayahnya yang tidur di luar, begitu seterusnya bergantian. Selain itu mereka ikut bertanggung jawab atas keamanan gedung dan para penghuninya, terutama yang tinggal di lantai dasar seperti aku dan kawan-kawan. Karena pernah juga ada orang yang berusaha mencuri jemuran pakaian kami.
Kawan-kawan yang pernah tinggal di rumah kami pasti akrab dengan keluarga tersebut. Bahkan kawan yang sudah lama pulang ke tanah air pun mereka masih ingat. Mereka sering bercerita tentang orang-orang yang tinggal di rumah ini. Sudah belasan tahun rumah ini disewa oleh mahasiswa Indonesia secara turun temurun. Angkatan yang baru menggantikan mereka yang kembali ke tanah air dan seterusnya. Selain posisinya strategis dekat jalan besar, tuan rumah kami termasuk murah memberi harga sewa. Sekarang saja harga sewa flat kami 400 pound per bulan, sementara rumah-rumah lain di daerah itu sewanya paling murah 500 pound (1 pound sekitar 1700 rupiah), bahkan ada yang menawarkan sampai 1000 pound sebulan dengan fasilitas lengkap. Tuan rumah kami yang seorang janda mengatakan sudah 13 tahun ini ia tidak menaikkan harga sewa rumahnya. Ia tidak mengatakan sebabnya.
Bersebelahan dengan rumah kami sekitar 10 meter, ada sebuah Masjid. Namanya masjid Shahabah. Masjid yang selalu ramai dengan jamaah ketika sholat, siang dan malam. Masjid itu tidak punya imam tetap sehari-harinya namun punya imam tetap untuk Sholat Jum’at. Tampaknya imam itu tinggal jauh dari daerah kami. Sehingga ia datang pada hari biasanya menjadi Imam pada hari Kamis, Jum’at dan Sabtu. Sedangkan hari-hari lainnya para jamaah yang mempunyai bacaan lebih bagus dan hafal Qur’an bergantian menjadi imam. Sehari semalam sholat lima waktu tidak pernah kurang dari tiga baris. Yang menjadi jamaah pun bermacam-macam. Aku sering menerka dari mana mereka berasal dari bentuk wajah, bahasa dan pakaian yang mereka pakai ketika bicara dengan kawan sesama negaranya. Sehingga aku terbiasa menerka orang-orang yang kujumpai di kampus maupun di mana saja sejak aku tinggal di Kairo, walaupun kadang meleset.Bermacam bangsa, bahasa dan warna kulit bersatu dan berbaur ketika sholat berjamaah. Aku merasakan keindahan yang belum pernah kurasakan ketika di kampung. Ada orang USA, Inggris, Perancis, Rusia dan negara-negara pecahannya, Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, Pakistan, Maladewa, negara-negara dari benua hitam Afrika, dan yang terbanyak orang-orang Arab. Tidak ada diskriminasi, tidak ada masalah dengan warna kulit, dan rasisme akan mentah di masjid Shahabah. Semua sama di hadapan Allah. Sungguh indah. Kalau ada waktu silahkan datang ke tempat kami.Lucu juga ketika melihat orang Inggris dan Perancis bercakap-cakap satu sama lain. Mungkin karena merasa sama-sama dari Eropa mereka tampak lebih akrab.
Suatu saat saya melihat mereka bercakap-cakap. Orang Inggris itu tidak bisa bahasa Perancis begitu sebaliknya. Mereka terbata-bata menggunakan bahasa Arab karena belum lancar. Aku terenyum simpul, beginilah kalo bule-bule bicara bahasa Arab, tampak kesusahan. Tapi tidak sedikit juga yang aku lihat lancar, terutama mereka yang sudah lama tinggal di Mesir. Kebanyakan mereka membawa keluarganya untuk hijrah ke Mesir karena ingin belajar Islam dan bahasa Arab lebih dalam.
Suatu ketika ada seorang muslim Perancis yang membuat saya terharu dengan kegigihannya. Namanya Badr, seorang lumpuh yang harus berjalan dengan kursi roda. Jenggotnya hitam lebat, umurnya sekitar 30-an. Pertama kali ia hanya sholat di depan tangga Masjid. Kemudian para jamaah lain tahu hal itu, sehingga mereka menolongnya dengan mengangkat kursi rodanya melewati tangga agar ia bisa sholat di dalam masjid. Biasanya ia ditemani Isa, seorang "Bilal bin Robah" asal Inggris yang juga kawan serumah Badr. Beberapa hari kemudian Isa membuatkan landasan dari kayu di atas tangga agar bisa dilewati kursi rodanya. Itu lebih memudahkannya. Pada dasarnya ia berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Meskipun ketika naik Isa masih membantunya, namun ketika turun ia berusaha sendiri. Pernah suatu ketika aku memegang kursi rodanya agar dia tidak tergelincir ketika turun, tapi ia menolaknya. Kursi roda itu aku lepas lagi untuk menghormatinya. Aku faham perasaannya. Ia tentu ingin berusaha sendiri sebisa mungkin, dan ia memang tidak jatuh, mungkin sudah pengalaman.
Badr rajin sholat di masjid, bahkan saat subuh dingin mengigit tulang.Aku pernah memuji negaranya, Perancis adalah negeri yang indah. Ia malah menyangkal, “Oh tidak saudaraku, di sini lebih baik, aku bisa beribadah lebih tenang. Di Perancis banyak maksiat.” Malah ia mengatakan ingin hijrah ke Mekkah agar bisa mendapatkan pahala yang berlipat-lipat ketika berjamaah di Masjidil Haram. Oh, aku terkesima. Semangat hidup terpancar jelas dari kedua matanya. Senyumnya yang selalu tersungging mengiringi semangat itu. Membuatku malu dengan keadaanku yang tanpa kursi roda.
Suatu hari aku minta doa dari Badr karena akan menghadapi ujian. Ia berjanji akan mendoakanku dan menyarankanku untuk memelihara sholat malam. “Sholat malam akan membuatmu kuat dan tenang, aku sudah merasakannya,” Oh, sebuah pelajaran yang tak akan ku lupa dari seorang Badr, bule Perancis itu. Namun sudah satu bulan lebih aku tidak melihatnya lagi berjamaah. Aku juga tidak tahu ia pindah atau kembali ke negaranya karena Isa juga tidak terlihat. Waktu itu aku segan mencari tahu karena aku sendiri sibuk mempersiapkan ujian. Yang belum terpenuhi sebelum Badr pergi adalah kami saling beziarah ke rumah masing-masing. Aku pernah menolak tawarannya untuk berkunjung ke rumahnya karena besok akan ujian. Rupanya kesempatan itu tidak datang dua kali, karena aku makin banyak kegiatan. Semoga Allah selalu melindungimu, Badr.
Salam Hangat dari Gerbang Tiga, Kota Nasr, Kairo
ditulis tanggal 26 April 2006
3 Comments:
Hahaha.... How could you find that? Terrific!
But that's forbidden to enter without authorization of the owner, you know? Hehehe.... You must pass identity verification. But... you did though :D ;)
(Makasih dah mampir, Om. Sorry. Blognya lagi agazah)
@Pangapora
No problem, just giving a comment and know that real cool blog is enough. :)_
Thanks a lot too for your visit.
mk..
terharu dengan kisah pemuda berkerusi roda itu..
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home